Sejak
kecil sebenarnya saya sudah selalu berpikir “takut berpikir”, saya sering takut
berpikir karena saya tidak pernah yakin (sesungguhnya) bahwa apa yang saya
pikirkan itu adalah sesuatu yang benar.
Bermula
ketika saya duduk dibangku sekolah dasar diawal tahun tujuh puluhan. Saat itu
saya diminta oleh zuster saya untuk menjelaskan didepan kelas apa arti sebuah
persahabatan bagi saya. Semalaman saya berpikir bahwa sahabat itu adalah teman
bermain, sahabat itu selalu ada disamping kita, sahabat itu selalu berkata
jujur, sahabat itu selalu setia, sahabat itu titik, titik, titik... yang
semuanya berisi kaidah dasar moral, etika dan agama yang diajarkan oleh orang
tua dirumah maupun para tetua disekolah.
Namun
menjelang keberangkatan saya ke sekolah, esok harinya, didalam mobil duduk
ditengah diapit oleh kedua kakak saya, saya berpikir, bagaimana kalau suatu
hari saya tidak masuk dan tidak bermain dengan sahabat saya, apakah artinya
saya sudah tidak menjadi sahabat lagi? Bagaimana kalau suatu saat saya tidak
ada disampingnya, apakah gugur sudah jabatan saya sebagai seorang sahabat,
bagaimana apabila suatu saat saya tidak jujur kepadanya, karena saya tahu
dengan pasti bahwa sahabat saya itu cengeng dan dia akan selalu menangis
berteriak, memekakkan kuping kiri dan kuping kanan saya hanya karena tahu bahwa
hari itu Ibu Maria tidak masuk dan akan digantikan oleh Zuster Paula yang tidak
disukainya, dan bagaimana-bagaimana lainnya yang memenuhi kepala saya apabila
saya tidak dapat memenuhi persyaratan yang telah saya pikirkan masak-masak
untuk memaparkan dihadapan teman-teman saya nanti, apakah arti sahabat itu bagi
saya.
Tepat
jam tujuh lewat sepuluh menit, sesaat setelah berdiri tegak rapi berbaris untuk
memasuki ruang kelas dan mata pelajaran pertama diawali dengan berdoa Bapak
kami
bersama-sama,
saya berjalan maju kedepan kelas, dan saat itulah saya terpaksa mengubah semua
konsep pemikiran yang sebelumnya telah saya rancang dengan sebaik-baiknya bahwa
sahabat tidak harus selalu ada, sahabat tidak harus selalu berada disamping,
sahabat tidak harus selalu jujur, tetapi, satu yang saya pikir tetap harus
dipertahankan, bahwa menjadi sahabat itu harus selalu setia, disaat suka maupun
duka.
Sambil
terbata-bata (karena takut melihat sosok Zuster Eduarda yang berbadan bak
raksasa pemangsa Hazel & Gretel), saya sampaikan pokok pikiran saya
perlahan sambil tetap berpikir, apakah pikiran saya ini benar atau tidak.
Dan
ternyata, kebiasaan tersebut berlanjut sampai sekarang. Sekian puluh tahun
sudah terlewati dan saya masih sering ragu (walaupun 99% orang yang mengenal
saya mengatakan bahwa saya adalah tipe mahluk Tuhan yang kelewat pédé), apakah
yang saya pikirkan ini adalah benar, tepatnya, tidak hanya benar tetapi baik
dan benar.
Jari
tangan dan jari kaki saya tidak cukup untuk menghitung berapa orang pandai yang
dimiliki oleh bangsa ini. Luar biasa banyaknya. Tidak hanya mereka yang pandai
disertai sederet huruf besar perlambang strata pendidikan diawal dan-atau
diakhir nama mereka, tetapi sederet orang pandai tanpa gelar atau yang memang
tidak bersedia membuang-buang tinta demi mencetak gelar yang telah “dengan
susah atau dengan mudah” mereka dapatkanpun jumlahnya sangat banyak.
Sangat
menyenangkan dan membanggakan bahwa kita benar-benar memiliki banyak orang
pandai yang pastilah mereka dapat menyumbangkan pemikirannya untuk kemajuan bumi
ini.
Namun,
kenapa kita tidak juga maju? Kenapa kita tidak juga makmur? Kenapa kita tidak
juga merasakan keadilan yang merata? Kenapa juga kita tidak merasakan kedamaian
dan kebebasan yang hakiki dalam kehidupan yang semakin tua ini?
Kembali
saya berpikir (walaupun tetap merasa apakah pikiran saya ini benar), apakah
mereka semua para cerdik pandai itu telah benar-benar berpikir, meluangkan
waktunya untuk memerah bermiliar sel dikepala mereka masing-masing untuk
kemudian diamalkan kepada seluruh kawula diwilayah Nusantara ini, sehingga
minimal sejajarlah kita dengan negara tetangga yang telah lebih dahulu dikenal
oleh dunia kebanyakan (karena kemajuan ekonominya, kemajuan teknologinya,
kemakmuran rakyatnya dan lain sebagainya, bukan karena bom di Bali, bukan
karena sekeluarga kompak bunuh diri dan saling membunuh dan bukan juga karena
telah berhasil menjadi jawara pertama dalam lomba korupsi dan kemacetan ibu
kota).
Seandainya,
mari kita berpikir sambil berandai-andai, para cerdik pandai itu dengan segala
kekurangan dan kelebihannya bersatu padu, mengutamakan kepentingan bersama,
kepentingan para Ibu dan Bapak tua yang terseok-seok berhimpitan, kepanasan dan
pada akhirnya pingsan hanya untuk tiga lembar uang IDR berwarna merah yang
dibagikan oleh para juru bayar pemerintahan, mengutamakan kepentingan anak-anak
yang kesulitan belajar dengan tenang, tidak takut kehujanan, tidak takut
kepanasan dan tidak takut mati tertindih atap yang sudah reyot (karena kalau
takut tidak bisa bayaran sekolah itu sudah basi), para cerdik pandai yang mau
mengutamakan para Ibu yang selalu mengeluh dipasar karena setiap hari harga
berubah-ubah, para Bapak yang merasa kesal karena setiap kali sampai dirumah
para isteri sudah siap dengan keluhan baru perihal uang, uang dan uang lagi....,
seandainya para pandai mau berpikir tanpa harus merasa was-was akan
kedudukannya, merasa was-was karena pundi-pundi yang belum juga membengkak,
merasa was-was karena ancaman para pihak yang akan menyerang diri dan
keluarganya (akibat hutang budi atau hutang uang masa lalu) apabila hasil
pikirannya yang dirasa benar, benar-benar dipublikasikan dan diaplikasikan
dalam regulasi-regulasi kepemerintahan, saya yakin, dan Anda juga pastinya, apa
yang saya pikirkan selama ini pastilah benar, benar menjadi kenyataan bahwa
kita juga bisa menjadi bangsa yang sama majunya dengan bangsa lain diplanet
biru ini.
Saya
lelah, saya (maaf) muak dan pada akhirnya saya lebih senang menonton acara
bertema binatang atau masak-memasak dari pada harus menonton dan mendengarkan
berita yang penuh dengan kesulitan (yang sebenarnya adalah kesulitan yang
dibuat oleh “kita sendiri”), berita yang penuh dengan kejahatan (yang
sebenarnya kejahatan yang dibuat oleh “kita sendiri”) dan yang terparah adalah
berita yang penuh dengan kebodohan (yang sebenarnya kebodohan itu adalah
ciptaan “kita sendiri”).
Akhirnya
saya kembali berpikir lagi, apakah mereka semua sudah berpikir dengan benar dan
baik atau ternyata mereka hanya sekelompok orang yang selalu merasa “gue pikir
gue bener, gue pikir gue baik....”
Sayang,
saya hanyalah seorang KINI2603, jadi saya hanya dapat berpikir dan menulis,
itupun sambil merasa was-was, apakah pikiran saya itu benar dan baik adanya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar