Senin, 19 Desember 2011

befikir yang benar



Sejak kecil sebenarnya saya sudah selalu berpikir “takut berpikir”, saya sering takut berpikir karena saya tidak pernah yakin (sesungguhnya) bahwa apa yang saya pikirkan itu adalah sesuatu yang benar.

Bermula ketika saya duduk dibangku sekolah dasar diawal tahun tujuh puluhan. Saat itu saya diminta oleh zuster saya untuk menjelaskan didepan kelas apa arti sebuah persahabatan bagi saya. Semalaman saya berpikir bahwa sahabat itu adalah teman bermain, sahabat itu selalu ada disamping kita, sahabat itu selalu berkata jujur, sahabat itu selalu setia, sahabat itu titik, titik, titik... yang semuanya berisi kaidah dasar moral, etika dan agama yang diajarkan oleh orang tua dirumah maupun para tetua disekolah.

Namun menjelang keberangkatan saya ke sekolah, esok harinya, didalam mobil duduk ditengah diapit oleh kedua kakak saya, saya berpikir, bagaimana kalau suatu hari saya tidak masuk dan tidak bermain dengan sahabat saya, apakah artinya saya sudah tidak menjadi sahabat lagi? Bagaimana kalau suatu saat saya tidak ada disampingnya, apakah gugur sudah jabatan saya sebagai seorang sahabat, bagaimana apabila suatu saat saya tidak jujur kepadanya, karena saya tahu dengan pasti bahwa sahabat saya itu cengeng dan dia akan selalu menangis berteriak, memekakkan kuping kiri dan kuping kanan saya hanya karena tahu bahwa hari itu Ibu Maria tidak masuk dan akan digantikan oleh Zuster Paula yang tidak disukainya, dan bagaimana-bagaimana lainnya yang memenuhi kepala saya apabila saya tidak dapat memenuhi persyaratan yang telah saya pikirkan masak-masak untuk memaparkan dihadapan teman-teman saya nanti, apakah arti sahabat itu bagi saya.

Tepat jam tujuh lewat sepuluh menit, sesaat setelah berdiri tegak rapi berbaris untuk memasuki ruang kelas dan mata pelajaran pertama diawali dengan berdoa Bapak kami


bersama-sama, saya berjalan maju kedepan kelas, dan saat itulah saya terpaksa mengubah semua konsep pemikiran yang sebelumnya telah saya rancang dengan sebaik-baiknya bahwa sahabat tidak harus selalu ada, sahabat tidak harus selalu berada disamping, sahabat tidak harus selalu jujur, tetapi, satu yang saya pikir tetap harus dipertahankan, bahwa menjadi sahabat itu harus selalu setia, disaat suka maupun duka.

Sambil terbata-bata (karena takut melihat sosok Zuster Eduarda yang berbadan bak raksasa pemangsa Hazel & Gretel), saya sampaikan pokok pikiran saya perlahan sambil tetap berpikir, apakah pikiran saya ini benar atau tidak.

Dan ternyata, kebiasaan tersebut berlanjut sampai sekarang. Sekian puluh tahun sudah terlewati dan saya masih sering ragu (walaupun 99% orang yang mengenal saya mengatakan bahwa saya adalah tipe mahluk Tuhan yang kelewat pédé), apakah yang saya pikirkan ini adalah benar, tepatnya, tidak hanya benar tetapi baik dan benar.

Jari tangan dan jari kaki saya tidak cukup untuk menghitung berapa orang pandai yang dimiliki oleh bangsa ini. Luar biasa banyaknya. Tidak hanya mereka yang pandai disertai sederet huruf besar perlambang strata pendidikan diawal dan-atau diakhir nama mereka, tetapi sederet orang pandai tanpa gelar atau yang memang tidak bersedia membuang-buang tinta demi mencetak gelar yang telah “dengan susah atau dengan mudah” mereka dapatkanpun jumlahnya sangat banyak.

Sangat menyenangkan dan membanggakan bahwa kita benar-benar memiliki banyak orang pandai yang pastilah mereka dapat menyumbangkan pemikirannya untuk kemajuan bumi ini.

Namun, kenapa kita tidak juga maju? Kenapa kita tidak juga makmur? Kenapa kita tidak juga merasakan keadilan yang merata? Kenapa juga kita tidak merasakan kedamaian dan kebebasan yang hakiki dalam kehidupan yang semakin tua ini?

Kembali saya berpikir (walaupun tetap merasa apakah pikiran saya ini benar), apakah mereka semua para cerdik pandai itu telah benar-benar berpikir, meluangkan waktunya untuk memerah bermiliar sel dikepala mereka masing-masing untuk kemudian diamalkan kepada seluruh kawula diwilayah Nusantara ini, sehingga minimal sejajarlah kita dengan negara tetangga yang telah lebih dahulu dikenal oleh dunia kebanyakan (karena kemajuan ekonominya, kemajuan teknologinya, kemakmuran rakyatnya dan lain sebagainya, bukan karena bom di Bali, bukan karena sekeluarga kompak bunuh diri dan saling membunuh dan bukan juga karena telah berhasil menjadi jawara pertama dalam lomba korupsi dan kemacetan ibu kota).

Seandainya, mari kita berpikir sambil berandai-andai, para cerdik pandai itu dengan segala kekurangan dan kelebihannya bersatu padu, mengutamakan kepentingan bersama, kepentingan para Ibu dan Bapak tua yang terseok-seok berhimpitan, kepanasan dan pada akhirnya pingsan hanya untuk tiga lembar uang IDR berwarna merah yang dibagikan oleh para juru bayar pemerintahan, mengutamakan kepentingan anak-anak yang kesulitan belajar dengan tenang, tidak takut kehujanan, tidak takut kepanasan dan tidak takut mati tertindih atap yang sudah reyot (karena kalau takut tidak bisa bayaran sekolah itu sudah basi), para cerdik pandai yang mau mengutamakan para Ibu yang selalu mengeluh dipasar karena setiap hari harga berubah-ubah, para Bapak yang merasa kesal karena setiap kali sampai dirumah para isteri sudah siap dengan keluhan baru perihal uang, uang dan uang lagi...., seandainya para pandai mau berpikir tanpa harus merasa was-was akan kedudukannya, merasa was-was karena pundi-pundi yang belum juga membengkak, merasa was-was karena ancaman para pihak yang akan menyerang diri dan keluarganya (akibat hutang budi atau hutang uang masa lalu) apabila hasil pikirannya yang dirasa benar, benar-benar dipublikasikan dan diaplikasikan dalam regulasi-regulasi kepemerintahan, saya yakin, dan Anda juga pastinya, apa yang saya pikirkan selama ini pastilah benar, benar menjadi kenyataan bahwa kita juga bisa menjadi bangsa yang sama majunya dengan bangsa lain diplanet biru ini.

Saya lelah, saya (maaf) muak dan pada akhirnya saya lebih senang menonton acara bertema binatang atau masak-memasak dari pada harus menonton dan mendengarkan berita yang penuh dengan kesulitan (yang sebenarnya adalah kesulitan yang dibuat oleh “kita sendiri”), berita yang penuh dengan kejahatan (yang sebenarnya kejahatan yang dibuat oleh “kita sendiri”) dan yang terparah adalah berita yang penuh dengan kebodohan (yang sebenarnya kebodohan itu adalah ciptaan “kita sendiri”).

Akhirnya saya kembali berpikir lagi, apakah mereka semua sudah berpikir dengan benar dan baik atau ternyata mereka hanya sekelompok orang yang selalu merasa “gue pikir gue bener, gue pikir gue baik....”

Sayang, saya hanyalah seorang KINI2603, jadi saya hanya dapat berpikir dan menulis, itupun sambil merasa was-was, apakah pikiran saya itu benar dan baik adanya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar