Selasa, 24 Januari 2012
Minggu, 08 Januari 2012
Rekayasa Sosial ( Bentuk-Bentuk Kesalahan Berpikir.)
1.
Fallacy Of Dramatic Instance
Bentuk kesalahan berpikir
dengan melakukan dramatisasi atau berlebihan terhadap suatu gejala dan
kejadian. Misalnya, fenomena Ospek di Unhas adalah pemandangan yang sudah lazim
untuk tiap Mahasiswa. Konon, dalam suatu rapat himpunan, disepakati bahwa
kekerasan akan dihilangkan karena secara esensial, manusia tak pernah
menghendaki segala bentuk kekerasan atau penindasan terhadap dirinya.
Seorang peserta lalu
membantah hal ini dan mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah benar. Ia lalu
memberikan contoh fenomena dirinya, yang saat menjabat sebagai Mahasiswa Baru
memang tidak senang ketika Ospek karena Ospek hanya ajang penindasan terhadap
Mahasiswa Baru. Namun, ia lalu menambahkan bahwa, hal itu tak berlangsung lama.
Karena, ia kemudian sadar bahwa dengan Ospek yang keras dan teramat disiplin
yang serba kaku dan tak rasional, kini ia dapat menikmati hasilnya. Misalnya,
dulu saat MaBa ia dipaksa untuk bangun pagi, sekarang ia dapat dengan mudah
untuk bangun pagi, dulu ia dibentak dan dimaki, kini ia bisa tahan dengan
segala bentuk bentakan baik dari orang tuanya ataupun dari seorang kakaknya
yang kebetulan seorang tentara.
Pada dasarnya, pendapat
ini bisa saja terjadi. Namun, kita tak dapat meng-umum-kan pendapat ini
diberlakukan kepada yang lain. Karena, seorang yang sering dibentak misalnya,
bisa saja menghasilkan efek yang berbeda. Atupun seseorang yang senantiasa
dipaksa untuk disiplin dan bukan karena kehendaknya sendiri, bisa jadi
menghasilkan kesimpulan yang lain. Dalam arti, bahwa teman kita itu sudah
terjebak dengan Fallacy Of Dramatic Instance, yang seenakhatinya
melakukan Overgeneralisasi fenomena dirinya untuk pula dapat diterapkan pada
orang lain.
2.
Fallacy Of Determinism
Yaitu kesalahan berpikir yang menganggap
bahwa kesalahan atau apa yang terjadi hari ini, berasal dari masa lalu, hingga
olehnya itu tidak lagi bisa dirubah. Misalnya, sebagian orang menganggap bahwa
kemiskinan bukan saja fenomena yang ada di masa kini. Namun, sejak awal
kelahiran manusia di bumi dan mengenal hidup bermasyarakat, kaya dan miskin
sudah menjadi keniscayaan. Makanya, tak perlu repot-repot mengurusi
permasalahan tentang kemiskinan. Bagaimanapun kita tak akan menemukan obat dan
solusinya. Karena, kemiskinan sudah secara alami tumbuh seiring kehadiran
manusia.
3.
Post Hoc Ergo Propter Hoc
Kata Post, dapat diartikan sesudah, Hoc berarti
demikian itu, Ergo dimaknai sebagai dari pada itu, Propter berarti kemudian
itu. Dari pengertian itu dapat ditarik kesimpulan bahwa, Post Hoc Ergo Propter
Hoc, adalah bentuk kesalahan berpikir yang menghubungkan dua kejadian
beriringan yang sebenarnya tak berhubungan.
Fenomena ini dapat dicontohkan dengan perilaku masyarakat yang biasanya
menghubungkan antara kematian seseorang misalnya, dengan hujan yang turun
sesudah kematian seseorang tersebut. Atau, perilaku masyarakat yang biasanya
menghubungkan antara jenis barang tertentu dengan kekuatan yang dimiliki oleh
orang atau tempat berdiamnya benda atau barang tersebut.
4.
Fallacy Of Misplaced Concretness
Fallacy of Misplaced
Concretness adalah bentuk kesalahan berpikir yang dilakukan oleh seseorang,
atau kelompok sosial tertentu, dengan mengkonkritkan sesuatu yang pada dasarnya
adalah abstrak dan tidak benar-benar eksis. Biasanya dapat diamati pada banyak
ahli yang kadang bicara dengan tidak jelas dan memberikan solusi yang sangat
umum untuk lari dari ketidaktahuannya.
Pernah satu diskusi
digelar tentang permasalahan kemiskinan di kota besar. Seorang ahli lalu
berargumen bahwa kemiskinan di kota besar lebih diakibatkan pada struktur.
Pertanyaanya, apa yang dimaksudkan dengan struktur dalam hal ini. Jangan sampai
struktur itu hanya wacana yang diciptakan oleh seorang ahli untuk lari dari
memberikan jawaban yang tegas tentang alur penyebab kemiskinan.
5.
Argumentum ad Verecundiam
Tak dapat dipungkiri bahwa tafsir atas kitab atau
perkataan utusan Tuhan, dapat saja berbeda pada tiap orang. Hal ini biasanya
malah digunakan oleh sebagian pemuka agama untuk berlindung dari pertanyaan-pertanyaan
yang dapat menghakimi dirinya secara langsung. Misalnya, seorang pemuka agama
ditanya, mengapa minuman keras itu dilarang di negara-negara Arab, sedangkan di
negara-negara Barat, justru dijual bebas.
Seorang ahli khutbah, mungkin dapat menjawab pertanyaan
ini. Namun, bagi mereka yang memiliki pengalaman keberagamaan secara literer
sekedar dalam dalam ta’wil kitab dan perkataan utusan semata, ia mungkin hanya
akan mengatakan bahwa minuman keras itu dilarang, karena agama mengharamkan
minuman keras. Orang seperti ini, kemungkinan terjebak dalam argumentum ad
Verecundiam, yaitu berargumen dengan menggunakan otoritas yang pada dasarnya
tak lagi bisa dibantah dalam tafsir pembuat argumen.
6.
Fallacy Of Composition
Fallacy of Compocition, yakni bentuk kesalahan berpikir yang
menggunakan argumen yang tidak memiliki koherensi dalam tataran logis. Hingga
secara literer penafsiran awam sekalipun akan melihat jeda atau
ketakkonsistensi pembuat argumen dalam menyusun dan menafsirkan wacana yang
sedang dibangunnya sendiri.
7.
Circular Reasoning
Seseorang pernah ditanya,
darimana ia dapat mengenal Tuhan. Ia lalu menjawab, dari kitab suci. Terus ia
ditanyai lagi, lalu dari mana kitab suci dikenali? Ia menjawab, dari utusan
Tuhan di muka bumi. Lalu ia ditanyai kembali, lalu dari mana kita mengenal
utusan Tuhan? Ia menjawab, dari Tuhan.
Pada dasarnya jawaban ini tidaklah salah. Namun, dengan melirik
sekilas, ini adalah bentuk kesalahan berpikir. Oleh karena, ada rantai yang
tidak dijawab oleh seseorang, hingga menyebabkan ia hanya berputar-putar dan
akhirnya kebingungan sendiri dengan argumen yang dibangunnya. Bentuk kesalahan
berpikir ini dikenali dengan circular reasoning atau berputar-putar.
AKal dan konsep Ketuhanan
Meskipun meyakini adanya
Tuhan adalah masalah Fithri yang tertanam dalam diri setiap manusia, namun
karena kecintaan mereka kepada dunia yang berlebihan sehingga mereka disibukkan
dengannya, mengakibatkan mereka lupa kepada Sang Pencipta dan kepada jati diri
mereka sendiri. Yang pada gilirannya, cahaya Fitrah mereka redup atau bahkan
padam.
Walaupun demikian, jalan
menuju Allah itu banyak. Para Ahli ma'rifat berkata,"Jalan-jalan menuju
ma'rifatullah sebanyak nafas makhluk." Salah satu jalan ma'rifatullah
adalah akal. Terdapat sekelompok kaum muslim, golongan ahli hadis (Salafi) atau
Wahabi, yang menolak peran aktif akal sehubungan dengan ketuhanan. Mereka
berpendapat, bahwa satu-satunya jalan untuk mengetahui Allah adalah nash (Al-Qur'an
dan hadis). Merka beralasan dengan adanya sejumlah ayat atau riwayat yang
secara lahiriah melarang menggunakan akal (ra'yu). Padahal kalau kita
perhatikan, ternyata Al-Qur'an dan hadis sendiri mengajak kita untuk
menggunakan akal, bahkan menggunakan keduanya ketika menjelaskan keberadaan
Allah lewat argumentasi (burhan) Aqli. Pada edisi berikutnya, Insya Allah akan
kita bicarakan tentang Al-Qur'an, hadis dan konsep ketuhanan.
Dalam persepsi mereka,
membicarakan agama adalah suatu hal yang sangat sensitif dan akan merenggangkan
hubungan antara manusia. Agama merupakan sesuatu yang sangat personal dan tidak
perlu diungkap dalam forum-forum umum dan terbuka. Jika harus berbicara agama
pun, maka ruang lingkupnya harus dibatasi pada sisi peribadatan saja.
Bisakah Tuhan dibuktikan
dengan akal ?
Sebenarnya pertanyaan ini
tidaklah tepat, karena bukan saja Allah bisa dibuktikan dengan akal. Bahkan,
pada beberapa kondisi dan situasi hal itu harus dibuktikan dengan akal, dan
tidak mungkin melakukan pembuktian tanpa akal.
Anggapan yang mengatakan,
bahwa pembuktian wujud Allah hanya dengan nash saja adalah anggapan yang sangat
naif. Karena bagaimana mungkin seseorang menerima keterangan Al-Qur'an,
sementara dia belum mempercayai wujud (keberadaan) sumber Al-Qur'an itu
sendiri, yaitu Allah Ta'ala.
Lebih naif lagi, mereka
menerima keterangan Al-Qur'an lantaran ia adalah kalamullah atau sesuatu yang
datang dari Allah. Hal itu berarti, mereka telah meyakini wujud Allah sebelum
menerima keterangan Al-Qur'an. Lalu mengapa mereka meyakini wujud Allah.
Mereka menjawab,"Karena
Al-Qur'an mengatakan demikian." Maka terjadilah daur (Lingkaran Setan?,
lihat istilah daur pada pembahasan selanjutnya). Dalam hal ini, Al-Qur'an
dijadikan sebagai pendukung dan penguat dalil aqli.
Pada kesempatan ini Insya
Allah kami mencoba menjelaskan keduanya secara sederhana dan ringkas.
Burhan-burhan Aqli-kalami
tentang keniscayaan wujud Allah Ta'ala
1. Burhan Nidham
(Keteraturan)
Burhan ini dibangun atas
beberapa muqaddimah (premis).
Pertama, bahwa alam raya ini
penuh dengan berbagai jenis benda, baik yang hidup maupun yang mati.
Kedua, bahwa alam bendawi
(tabi'at) tunduk kepada satu peraturan. Artinya, setiap benda yang ada di alam
ini tidak terlepas dari pengaruh undang-undang dan hukum alam.
Ketiga, hukum yang menguasai
alam ini adalah hukum kausalitas ('ilaliyyah), artinya setiap fenomena yang terjadi
di alam ini pasti dikarenakan sebuah sebab ('illat), dan tidak mungkin satu
fenomena terjadi tanpa sebab. Dengan demikian, seluruh alam raya ini dan segala
yang ada di dalamnya, termasuk hukum alam dan sebab-akibat, adalah sebuah
fenomena dari sebuah puncak sebab (prima kausa, atau 'illatul 'ilal).
Keempat, "sebab"
atau 'illat yang mengadakan seluruh alam raya ini tidak keluar dari dua
kemungkinan, yaitu "sebab" yang berupa benda mati atau sesuatu yang
hidup.
Kemungkinan pertama tidak
mungkin, karena beberapa alasan berikut : Pertama, alam raya ini sangat besar,
indah dan penuh keunikan. Hal ini menunjukkan bahwa "sebab" yang
mengadakannya adalah sesuatu yang hebat, pandai dan mampu. Kehebatan,
kepandaian dan kemampuan, merupakan ciri dan sifat dari sesuatu yang hidup.
Benda mati tidak mungkin disifati hebat, pandai dan mampu.
Kedua, benda-benda yang ada
di alam ini beragam dan bermacam-macam, di antaranya adalah manusia. Manusia
merupakan salah satu bagian dari alam yang palin menonjol. Dia pandai, mampu
dan hidup. Mungkinkah manusia yang pandai, mampu dan hidup terwujud dari
sesuatu yang mati ?
Kesimpulannya, bahwa alam
raya ini mempunyai "sebab" atau 'illat, dan "sebab"
tersebut adalah sesuatu yang hidup. Kaum muslimin menamai "sebab"
segala sesuatu itu dengan sebutan Allah Ta'ala.
2. Burhan al-Huduts
(Kebaruan)
Al-Huduts atau al-Hadits
berarti baru, atau sesuatu yang pernah tidak ada. Burhan ini terdiri atas
beberapa hal :
Pertama, bahwa alam raya ini
hadits, artinya mengalami perubahan dari tidak ada menjadi ada dan akhirnya
tidak ada lagi.
Kedua, segala sesuatu yang
asalnya tidak ada kemudian ada, tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti dia
menjadi ada karena "sebab" sesuatu.
Ketiga, yang menjadikan alam
raya ini ada haruslah sesuatu yang qadim, yakni keberadaannya tidak pernah
mengalami ketiadaan. Keberadaannya kekal dan abadi. Karena, jika sesuatu yang
mengadakan alam raya ini hadits juga, maka Dia-pun ada karena ada yang
mengadakannya, demikian seterusnya (tasalsul). Tasalsul yang tidak berujung
seperti ini mustahil. Dengan demikian, pasti ada 'sesuatu' yang keberadaannya
tidak pernah mengalami ketiadaan. Kaum muslimin menamakan 'sesuatu' itu dengan
sebutan Allah Ta'ala.
Burhan-burhan Aqli-Filosofi
tentang kenicayaan wujud Allah Ta'ala
A. Burhan Imkan Sebelum
menguraikan burhan ini, ada beberapa istilah yang perlu diperjelas terlebih
dahulu :
Wajib, yaitu sesuatu yang
wujudnya pasti, dengan sendirinya dan tidak membutuhkan kepada yang lain.
Imkan atau mumkin, sesuatu
yang wujud (ada) dan 'adam (tiada) baginya sama saja (tasawiy an-nisbah ila
al-wujud wa al-'adam). Artinya sesutu yang ketika 'ada' disebabkan faktor
eksternal, atau keberadaannya tidak dengan sendirinya. Demikian pula, ketika
'tidak ada' disebabkan faktor eksternal pula, atau ketiadaannya juga tidak
dengan sendirinya. Dia tidak membias kepada wujud dan kepada ketiadaan. Menurut
para filosuf, hal ini merupakan ciri khas dari mahiyah (esensi).
Mumtani' atau mustahil, yaitu
sesuatu yang tidak mungkin ada dan tidak mungkin terjadi, seperti sesuatu itu
ada dan tiada pada saat dan tempat yang bersamaan (ijtima'un naqidhain).
Daur (siklus atau lingkaran
setan). Misal, A keberadaannya tergantung/membutuhkan B, sedangkan B
keberadaannya tergantung/membutuhkan A. Jadi A tidak mungkin ada tanpa
keberadaan B terlebih dahulu, demikian pula B tidak mungkin ad tanpa keberadaan
A terlebih dahulu. Dengan demikian, A tidak akan a
Langganan:
Postingan (Atom)