Pengetahuan
(knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena
pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah)
adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama
genus-nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan " barangkali
" keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya.
Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya.
Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia
berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ?
Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur
kebenaran ?
Pertanyaan-pertanyaan
di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah
terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun
ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak
menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah
menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang
rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan
ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan.
Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world
view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita
dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu,
manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu
membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi
menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada
dalam benak, tetapi ia menjadi objek.
Para pemikir menyebut
ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah
al ma'rifah).
Epistemologi menjadi
sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu
dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini
sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan
filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti,
Mutahhari dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan
"Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli dengan "Nadzariyyah al
Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al
Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di
sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian
yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi.
Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala
hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah
bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi
mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran
sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan
telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan
pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari
alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu,
bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang
kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah
ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah
lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan
lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya,
Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.
Berbeda dengan barat,
di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan
ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa
friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena
interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama
dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai
ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi,
Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam
Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan
tenang.
Filsafat
Filsafat berasal dari
bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata
"philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan.
Konon yang pertama kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates.
(dan masih konon juga) Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama,
kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya,
dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih
untuk disebut pecinta pengetahuan.
Kedua, pada waktu
itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka orang yang
pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap
benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan.
Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis,
artinya mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap
benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam
keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia
bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia
berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia
tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran
kepada mereka yang sok pandai.
Kemudian
perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh
Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang
kemudian dikenal dengan logika (mantiq) Aristotelian.
Pada mulanya kata
filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi
filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis.
Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika,
biologi, ilmu pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3)
ilmu tentang ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1)
norma-norma (akhlak); (2) urusa rumah tangga; (3) sosial dan politik. Filusuf
adalah orang yang mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi.
Mungkinkah Manusia
itu Mempunyai Pengetahuan ?
Masalah epistemologis
yang sejak dahulu dan juga sekarang menjadi bahan kajian adalah, apakah
berpengetahuan itu mungkin ? Apakah dunia (baca: realita) bisa diketahui ?
Sekilas masalah ini konyol dan menggelikan. Tetapi terdapat beberapa orang yang
mengingkari pengetahuan atau meragukan pengetahuan. Misalnya, bapak kaum
sophis, Georgias, pernah dikutip darinya sebuah ungkapan berikut, "Segala
sesuatu tidak ada. Jika adapun, maka tidak dapat diketahui, atau jika dapat
diketahui, maka tidak bisa diinformasikan."
Mereka mempunyai
beberapa alasan yang cukup kuat ketika berpendapat bahwa pengetahuan sesuatu
yang tidak ada atau tidak dapat dipercaya. Pyrrho salah seorang dari mereka
menyebutkan bahwa manusia ketika ingin mengetahui sesuatu menggunakan dua alat
yakni, indra dan akal. Indra yang merupakan alat pengetahuan yang paling dasar
mempunyai banyak kesalahan, baik indra penglihat, pendengar, peraba, pencium
dan perasa. Mereka mengatakan satu indra saja mempunyai kesalahan ratusan. Jika
demikian adanya, maka bagaimana pengetahuan lewat indra dapat dipercaya ?
Demikian pula halnya dengan akal. Manusia seringkali salah dalam berpikir.
Bukti yang paling jelas bahwa di antara para filusuf sendiri terdapat perbedaan
yang jelas tidak mungkin semua benar pasti ada yang salah. Maka akalpun tidak
dapat dipercaya. Oleh karena alat pengetahuan hanya dua saja dan keduanya
mungkin bersalah, maka pengetahuan tidak dapat dipercaya.
Pyrrho ketika
berdalil bahwa pengetahuan tidak mungkin karena kasalahan-kesalahan yang indra
dan akal, sebenarnya, ia telah mengetahui (baca: meyakini) bahwa pengetahuan
tidak mungkin. Dan itu merupakan pengetahuan. Itu pertama. Kedua, ketika ia
mengatakan bahwa indra dan akal seringkali bersalah, atau katakan, selalu
bersalah, berarti ia mengetahui bahwa indra dan akal itu salah. Dan itu adalah
pengetahuan juga.
Alasan yang
dikemukakan oleh Pyrrho tidak sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan sesuatu
yang tidak mungkin. Alasan itu hanya dapat membuktikan bahwa ada kesalahan
dalam akal dan indra tetapi tidak semua pengetahuan lewat keduanya salah. Oleh
karen itu mesti ada cara agar akal dan indra tidak bersalah.
Menurut Ibnu Sina,
ada cara lain yang lebih efektif untuk menghadapi mereka, yaitu pukullah
mereka. Kalau dia merasakan kesakitan berarti mereka mengetahui adanya sakit
(akhir dawa' kay).
" Cogito,
ergosum "-nya Descartes.
Rene Descartes
termasuk pemikir yang beraliran rasionalis. Ia cukup berjasa dalam
membangkitkan kembali rasionalisme di barat. Muhammad Baqir Shadr memasukkannya
ke dalam kaum rasionalis. Ia termasuk pemikir yang pernah mengalami skeptisme
akan pengetahuan dan realita, namun ia selamat dan bangkit menjadi seorang yang
meyakini realita. Bangunan rasionalnya beranjak dari keraguan atas realita dan
pengetahuan. Ia mencari dasar keyakinannya terhadap Tuhan, alam, jiwa dan kota
Paris. Dia mendapatkan bahwa yang menjadi dasar atau alat keyakinan dan
pengetahuannya adalah indra dan akal. Ternyata keduanya masih perlu
didiskusikan, artinya keduanya tidak memberika hal yang pasti dan meyakinkan.
Lantas dia berpikir bahwa segala sesuatu bisa diragukan, tetapi ia tidak bisa
meragukan akan pikirannya. Dengan kata lain ia meyakini dan mengetahui bahwa
dirinya ragu-ragu dan berpikir. Ungkapannya yang populer dan sekaligus fondasi
keyakinan dan pengetahuannya adalah " Saya berpikir (baca : ragu-ragu),
maka saya ada ".
Argumentasinya akan
realita menggunakan silogisme kategoris bentuk pertama, namun tanpa menyebutkan
premis mayor. Saya berpikir, setiap yang berpikir ada, maka saya ada.
Keraguan al Ghazzali.
Dari dunia Islam
adalah Imam al Ghazzali yang pernah skeptis terhadap realita, namun iapun
selamat dan menjadi pemikir besar dalam filsafat dan tashawwuf. Perkataannya
yang populer adalah " Keraguan adalah kendaraan yang mengantarkan seseorang
ke keyakinan ".
Sumber Dana Alat
Pengetahuan.
Setelah pengetahuan
itu sesuatu yang mungkin dan realistis, masalah yang dibahas dalam
lliteratur-literatur epistimologi Islam adalah masalah yang berkaitan dengan
sumber dan alat pengetahuan. Sesuai dengan hukum kausaliltas bahwa setiap
akibat pasti ada sebabnya, maka pengetahuan adalah sesuatu yang sifatnya
aksidental -baik menurut teori recolection-nya Plato, teori Aristoteles yang
rasionalis-paripatetik, teori iluminasi-nya Suhrawardi, dan filsafat-materialisnya
kaum empiris- dan pasti mempunyai sebab atau sumber. Tentu yang dianggap
sebagai sumber pengetahuan itu beragam dan berbeda sebagaimana beragam dan
berbedanya aliran pemikiran manusia. Selain pengetahuan itu mempunyai sumber,
juga seseorang ketika hendak mengadakan kontak dengan sumber-sumber itu, maka
dia menggunakan alat.
Para filusuf Islam
menyebutkan beberapa sumber dan sekaligus alat pengetahuan, yaitu :
1. Alam tabi'at atau alam fisik
2. Alam Akal
3. Analogi ( Tamtsil)
4. Hati dan Ilham
1. Alam tabi'at atau
alam fisik
Manusia sebagai wujud
yang materi, maka selama di alam materi ini ia tidak akan lepas dari
hubungannya dengan materi secara interaktif, dan hubungannya dengan materi
menuntutnya untuk menggunakan alat yang sifatnya materi pula, yakni indra (al
hiss), karena sesuatu yang materi tidak bisa dirubah menjadi yang tidak materi
(inmateri). Contoh yang paling konkrit dari hubungan dengan materi dengan cara
yang sifatnya materi pula adalah aktivitas keseharian manusia di dunia ini,
sepert makan, minum, hubungan suami istri dan lain sebagianya. Dengan demikian,
alam tabi'at yang materi merupakan sumber pengetahuan yang
"barangkali" paling awal dan indra merupakan alat untuk
berpengetahuan yang sumbernya tabi'at.
Tanpa indra manusia
tidak dapat mengetahui alam tabi'at. Disebutkan bahwa, barang siapa tidak
mempunyai satu indra maka ia tidak akan mengetahui sejumlah pengetahuan. Dalam
filsafat Aristoteles klasik pengetahuan lewat indra termasuk dari enam
pengetahuan yang aksioamatis (badihiyyat). Meski indra berperan sangat
signifikan dalam berpengetahuan, namun indra hanya sebagai syarat yang lazim
bukan syarat yang cukup. Peranan indra hanya memotret realita materi yang
sifatnya parsial saja, dan untuk meng-generalisasi-kannya dibutuhkan akal.
Malah dalam kajian filsafat Islam yang paling akhir, pengetahuan yang diperoleh
melalui indra sebenarnya bukanlah lewat indra. Mereka mengatakan bahwa obyek
pengetahuan (al ma'lum) ada dua macam, yaitu, (1) obyek pengetahuan yang
substansial dan (2) obyek pengetahuan yang aksidental. Yang diketahui secara
substansial oleh manusia adalah obyek yang ada dalam benak, sedang realita di
luar diketahui olehnya hanya bersifat aksidental. Menurut pandangan ini, indra
hanya merespon saja dari realita luar ke relita dalam.
Pandangan Sensualisme
(al-hissiyyin).
Kaum sensualisme,
khususnya John Locke, menganggap bahwa pengetahuan yang sah dan benar hanya
lewat indra saja. Mereka mengatakan bahwa otak manusia ketika lahir dalam
keadaan kosong dari segala bentuk pengetahuan, kemudian melalui indra
realita-realita di luar tertanam dalam benak. Peranan akal hanya dua saja
yaitu, menyusun dan memilah, dan meng-generalisasi. Jadi yang paling berperan
adalah indra. Pengetahuan yang murni lewat akal tanpa indra tidak ada.
Konskuensi dari pandangan ini adalah bahwa realita yang bukan materi atau yang
tidak dapat bersentuhan dengan indra, maka tidak dapat diketahui, sehingga pada
gilirannya mereka mengingkari hal-hal yang metafisik seperti Tuhan.
2. Alam Akal
Kaum Rasionalis,
selain alam tabi'at atau alam fisika, meyakini bahwa akal merupakan sumber
pengetahuan yang kedua dan sekaligus juga sebagai alat pengetahuan. Mereka
menganggap akal-lah yang sebenarnya menjadi alat pengetahuan sedangkan indra hanya
pembantu saja. Indra hanya merekam atau memotret realita yanng berkaitan
dengannya, namun yang menyimpan dan mengolah adalah akal. Karena kata mereka,
indra saja tanpa akal tidak ada artinya. Tetapi tanpa indra pangetahuan akal
hanya tidak sempurna, bukan tidak ada.
Aktivitas-aktiviras
Akal
1. Menarik kesimpulan. Yang dimaksud dengan
menarik kesimpulan adalah mengambil sebuah hukum atas sebuah kasus tertentu
dari hukum yang general. Aktivitas ini dalam istilah logika disebut silogisme
kategoris demonstratif.
2. Mengetahui konsep-konsep yang general.
Ada dua teori yang menjelaskan aktivitas akal ini, pertama, teori yang
mengatakan bahwa akal terlebih dahulu menghilangkan ciri-ciri yang khas dari
beberapa person dan membiarkan titik-titik kesamaan mereka. Teori ini disebut
dengan teori tajrid dan intiza'. Kedua, teori yang mangatakan bahwa pengetahuan
akal tentang konsep yang general melalui tiga tahapan, yaitu persentuhan indra
dengan materi, perekaman benak, dan generalisasi.
3. Pengelompokan Wujud. Akal mempunyai
kemampuan mengelompokkan segala yang ada di alam realita ke beberapa kelompok,
misalnya realita-realita yang dikelompokkan ke dalam substansi, dan ke dalam
aksdensi (yang sembilan macam).
4. Pemilahan dan Penguraian.
5. Penggabungan dan Penyusunan.
6. Kreativitas.
3. Analogi (Tamtsil)
Termasuk alat
pengetahuan manusia adalah analogi yang dalam terminologi fiqih disebut qiyas.
Analogi ialah menetapkan hukum (baca; predikat) atas sesuatu dengan hukum yang
telah ada pada sesuatu yang lain karena adanya kesamaan antara dua sesuatu itu.
Analogi tersusun dari
beberapa unsur; (1) asal, yaitu kasus parsial yang telah diketahui hukumnya.
(2) cabang, yaitu kasus parsial yang hendak diketahui hukumnya, (3) titik
kesamaan antara asal dan cabang dan (4) hukum yang sudah ditetapkan atas asal.
Analogi dibagi dua;
1. Analogi interpretatif : Ketika sebuah
kasus yang sudah jelas hukumnya, namun tidak diketahui illatnya atau sebab
penetapannya.
2. Analogi Yang Dijelaskan illatnya : Kasus
yang sudah jelas hukum dan illatnya.
4. Hati dan Ilham
Kaum empiris yang
memandang bahwa ada sama dengan materi sehingga sesuatu yang inmateri adalah
tidak ada, maka pengetahuan tentang in materi tidak mungkin ada. Sebaliknya
kaum Ilahi ( theosopi) yang meyakini bahwa ada lebih luas dari sekedar materi,
mereka mayakini keberadaan hal-hal yang inmateri. Pengetahuan tentangnya tidak
mungkin lewat indra tetapi lewat akal atau hati.
Tentu yang dimaksud
dengan pengetahuan lewat hati disini adalah penngetahuan tentang realita
inmateri eksternal, kalau yang internal seperti rasa sakit, sedih, senang,
lapar, haus dan hal-hal yang iintuitif lainnya diyakini keberadaannya oleh
semua orang tanpa kecuali.
Bagaimana mengetahui
lewat hati ?
Filusuf Ilahi Mulla
Shadra ra. berkata, "Sesungguhnya ruh manusia jika lepas dari badan dan
berhijrah menuju Tuhannya untuk menyaksikan tanda-tanda-Nya yang sangat besar,
dan juga ruh itu bersih dari kamaksiatan-kemaksiatan, syahwat dan ketarkaitan,
maka akan tampak padanya cahaya makrifat dan keimanan kepada Allah dan
malakut-Nya yang sangat tinggi. Cahaya itu jika menguat dan mensubstansi, maka
ia menjadi substansi yang qudsi, yang dalam istilah hikmah teoritis oleh para
ahli hikmat disebut dengan akal efektif dan dalam istilah syariat kenabian
disebut ruh yang suci. Dengan cahaya akal yang kuat, maka terpancar di dalamnya
-yakni ruh manusia yang suci- rahasia-rahasia yang ada di bumi dan di langit
dan akan tampak darinya hakikat-hakikat segala sesuatu sebagimana tampak dengan
cahaya sensual mata (alhissi) gambaran-gambaran konsepsi dalam kekuatan mata
jika tidak terhalang tabir. Tabir di sini -dalam pembahasan ini- adalah
pengaruh-pengaruh alam tabiat dan kesibukan-kesibukan dunia, karena hati dan
ruh -sesuai dengan bentuk ciptaannya- mempunyai kelayakan untuk menerima cahaya
hikmah dan iman jika tidak dihinggapi kegelapan yang merusaknya seperti
kekufuran, atau tabir yang menghalanginya seperti kemaksiatan dan yang
berkaitan dengannya "
Kemudian beliau
melanjutkan, "Jika jiwa berpaling dari ajakan-ajakan tabiat dan
kegelapan-kegelapan hawa nafsu, dan menghadapkan dirinya kepada Alhaq dan alam
malakut, maka jiwa itu akan berhubungan dengan kebahagiaan yang sangat tinggi
dan akan tampak padanya rahasia alam malakut dan terpantul padanya kesucian
(qudsi) Lahut ." (al-Asfar al-Arba'ah jilid 7 halaman 24-25).
Tentang kebenaran
realita alam ruh dan hati ini, Ibnu Sina berkata, "Sesungguhnya para
'arifin mempunyai makam-makam dan derajat-derajat yang khusus untuk mereka.
Mereka dalam kehidupan dunia di bawah yang lain. Seakan-akan mereka itu,
padahal mereka berada dengan badan mereka, telah melepaskan dan meninggalkannya
untuk alam qudsi. Mereka dapat menyaksikan hal-hal yang halus yang tidak dapat
dibayangkan dan diterangkan dengan lisan. Kesenangan mereka dengan sesuatu yang
tidak dapat dilihat mata dan didengar telinga. Orang yang tidak menyukainya
akan mengingkarinya dan orang yang memahaminya akan membesarkannya."
(al-Isyarat jilid 3 bagian kesembilan tentang makam-makam para 'arif halaman
363-364)
Kemudia beliau
melanjutkan, "Jika sampai kepadamu berita bahwa seorang 'arif berbicara -lebih
dulu- tentang hal yang gaib (atau yang akan terjadi), dengan berita yang
menyenangkan atau peringatan, maka percayailah. Dan sekali-sekali anda
keberatan untuk mempercayainya, karena apa yang dia beritakan mempunyai
sebab-sebab yang jelas dalam pandangan-pandangan (aliran-aliran) tabi'at."
Pengetahuan tentang
alam gaib yang dicapai manusia lewat hati jika berkenaan dengan pribadi
seseorang saja disebut ilham atau isyraq, dan jika berkaitan dengan bimbingan
umat manusia dan penyempurnaan jiwa mereka dengan syariat disebut wahyu.
Islam dan
Sumber-sumber Pengetahuan
Dalam teks-teks Islam
-Qur'an dan Sunnah- dijelaskan tentang sumber dan alat pengetahuan:
1. Indra dan akal
Allah swt. berfirman, "Dan Allah
yang telah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian, sementara kalian tidak
mengetahui sesuatu pun, dan (lalu) Ia meciptakan untuk kalian pendengaran,
penglihatan dan hati ( atau akal) agar kalian bersyukur ". (QS. al-Nahl:
78).
Islam tidak hanya menyebutkan pemberian
Allah kepada manusia berupa indra, tetapi juga menganjurkan kita agar
menggunakannya, misalnya dalam al-Qur'an Allah swt. berfirman,
"Katakanlah, lihatlah segala yang ada di langit-langit dan di bumi."
(QS. Yunus: 101 ). Dan ayat-ayat yang lainnya yang banyak sekali tentang
anjuran untuk bertafakkur. Qur'an juga dalam membuktikan keberadaan Allah
dengan pendekatan alam materi dan pendakatan akal yang murni seperti,
"Seandainya di langit dan di bumi ada banyak tuhan selain Allah, niscaya
keduanya akan hancur." (QS. al-Anbiya': 22). Ayat ini menggunakan
pendekatan rasional yang biasa disebut dalam logika Aristotelian dengan
silogisme hipotesis.
Atau ayat lain yang berbunyi, "Allah
memberi perumpamaan, seorang yang yang diperebutkan oleh banyak tuan dengan
seorang yang menyerahkan dirinya kepada seorang saja, apakah keduanya sama
?" (QS. al-Zumar: 29)
2. Hati
Allah swt berfirman,
"Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, niscaya Ia akan
memberikan kepada kalian furqon." (QS. al-Anfal: 29) Maksud ayat ini
adalah bahwa Allah swt. akan memberikan cahaya yang dengannya mereka dapat
membedakan antara yang haq dengan yang batil.
Atau ayat yang
berbunyi, "Dan bertakwalah kepada Allah maka Ia akan mengajari kalian. Dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. al-Baqarah: 282). Dan
ayat-ayat yang lainnya.
Syarat dan Penghalang
Pengetahuan.
Meskipun
berpengetahuan tidak bisa dipisahkan dari manusia, namun seringkali ada hal-hal
yang mestinya diketahui oleh manusia, ternyata tidak diketahui olehnya.
Oleh karena itu ada
beberapa pra-syarat untuk memiliki pengetahuan, yaitu :
1. Konsentrasi
Orang yang tidak mengkonsentasikan
(memfokuskan) indra dan akal pikirannya pada benda-benda di luar, maka dia
tidak akan mengetahui apa yang ada di sekitarnya.
2. Akal yang sehat
Orang yang akalnya tidak sehat tidak
dapat berpikir dengan baik. Akal yang tidak sehat ini mungkin karena penyakit,
cacat bawaan atau pendidikan yang tidak benar.
3. Indra yang sehat
Orang yang salah satu
atau semua indranya cacat maka tidak mengetahui alam materi yang ada di
sekitarnya.
Jika syarat-syarat
ini terpenuhi maka seseorang akan mendapatkan pengetahuan lewat indra dan akal.
Kemudian pengetahuan daat dimiliki lewat hati. Pengetahuan ini akan diraih
dengan syarat-syarat seperti, membersihkan hati dari kemaksiatan, memfokuskan
hati kepada alam yang lebih tinggi, mengosongkan hati dari fanatisme dan
mengikuti aturan-aturan sayr dan suluk. Seorang yang hatinya seperti itu akan
terpantul di dalamnya cahaya Ilahi dan kesempurnaanNya.
Ketika syarat-syarat
itu tidak terpenuhi maka pengetahuan akan terhalang dari manusia. Secara
spesifik ada beberapa sifat yang menjadi penghalang pengetahuan, seperti
sombong, fanatisme, taqlid buta (tanpa dasar yang kuat), kepongahan karena
ilmu, jiwa yang lemah (jiwa yang mudah dipengaruhi pribadi-pribadi besar) dan
mencintai materi secara berlebihan.
Wal hamdulillah
awwalan wa akhiran.
(Makalah Ust. Husein
Al-Kaff dalam Kuliah Filsafat Islam di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad)