Senin, 29 Oktober 2012

GENERASI TERBURUK



Salah satu dambaan kita dalam hidup ini adalah lahir dan terwujudnya generasi yang terbaik. Indikasi terwujudnya generasi yang terbaik memang sudah ada, misalnya dengan banyaknya kaum muslimin yang memiliki komitmen yang begitu kuat terhadap Islam sebagai agama yang harus diamalkan dalam kehidupan nyata dalam berbagai aspeknya. Namun bila dibandingkan dengan generasi yang sebaliknya, rasanya terwujudnya generasi yang terbaik masih amat jauh, hal ini karena begitu banyak generasi manusia yang memiliki profil generasi yang terburuk. Dalam satu hadits, Rasulullah Saw menyebutkan tentang ciri-ciri generasi terburuk yang harus kita jauhi, hadits tersebut berbunyi:


Akan datang suatu masa atas manusia: cita-cita mereka hanya untuk kepentingan perut, kemuliaan mereka dilihat dari perhiasan mereka, kiblat mereka adalah wanita-wanita mereka dan agama mereka adalah uang dan harta benda. Mereka itulah sejahat-jahat makhluk dan tidak ada bagian untuk mereka di sisi Allah (HR. Dailami).

Dari hadits di atas, terdapat empat ciri dari generasi terburuk. Karena harus kita jauhi, maka memahami maksud hadits tersebut menjadi sesuatu yang amat penting.

Mementingkan Perut.
Salah satu keinginan manusia dalam hidupnya adalah memiliki perut yang kenyang dengan berbagai jenis makanan, kenyang pada dasarnya bukanlah sesuatu yang dilarang, tapi kalau segala sesuatu dilakukan untuk kepentingan perut merupakan sesuatu yang sangat berbahaya, itulah yang kini banyak terjadi pada masyarakat kita. Mementingkan perut berarti seseorang ingin mendapatkan dan memiliki kekayaan meskipun dengan menghalalkan segala cara, bahkan meskipun seseorang sudah mendapatkan rizki secara halal, hal itu akan dimanfaatkan untuk kepentingan diri dan keluarganya saja sehingga tidak peduli dengan kekurangan yang dialami oleh orang lain.

Akibat lain yang sangat berbahaya dari mementingkan perut adalah seseorang menjadi takut lapar, takut tidak mendapatkan rizki yang membuatnya takut menanggung resiko dalam menjalani kehidupan secara benar. Karena itu, orang yang mementingkan perut menjadi manusia yang mau melakukan sesuatu bila menguntungkan secara materi sehingga motivasi dari apa yang dilakukannya adalah hal-hal yang dapat menyenangkan kehidupan duniawinya dan tidak mau melakukan sesuatu yang baik sekalipun, manakala hal itu mengakibatkan kesulitan dalam hidupnya, apalagi kalau sampai mengakibatkan perutnya menjadi lapar.

Oleh karena itu, ibadah Ramadhan mendidik kita menjadi manusia yang mampu menghadapi kehidupan lapar atau sulit meskipun sebenarnya pendidikan ini hanya berlangsung hanya dalam beberapa jam saja dalam satu hari. Itu sebabnya, kesabaran merupakan faktor penting dalam menghadapi cobaan lapar, Allah berfirman yang artinya: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (QS 2:155).

Memuliakan Perhiasan.
Dalam hidup ini, manusia menghiasi dirinya dengan berbagai perhiasan hidup seperti rumah yang besar dan bagus, kendaraan yang mewah, pakaian yang mahal, perhiasan emas yang berat dan seterusnya. Semua itu dijadikan sebagai ukuran bagi kemuliaan seseorang, padahal kita tahu bahwa hal-hal itu hanya aksesoris dalam kehidupan manusia, karena itu sangat naif bila semua itu dijadikan sebagai sombol kemuliaan, karenanya generasi terburuk menjadikan perhiasan hidup sebagai ukuran kemuliaan seseorang, sementara generasi yang mulia menjadikan ketaqwaan yang mantap sebagai tolok ukur kemuliaan seseorang, karena Allah Swt akan memuliakan seseorang berdasarkan ketaqwaannya, Allah berfirman yang artinya: Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara kamu (QS 49:13).

Manakala kemuliaan seseorang diukur berdasarkan perhiasan yang digunakannya, itu menunjukkan bahwa kita adalah hamba-hamba harta dan perhiasan yang sangat tercela, Rasulullah Saw bersabda:

Binasalah hamba dinar, binasalah hamba dirham, binasalah hamba sutra/perhiasan (HR. Bukhari).

Mengagungkan Wanita.

Salah satu dari ciri generasi terburuk adalah mengagungkan wanita. Yang dimaksud dengan mengagungkan wanita adalah menuruti syahwat atau nafsu seksualnya terhadap wanita yang tidak halal baginya atau memenuhi ajakan wanita untuk melakukan perzinahan, ini merupakan sesuatu yang sangat hina, karenanya harus dijauhi, Allah berfirman yang artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk (QS 17:32).

Karena itu, apabila seorang muslim mampu menolak ajakan wanita untuk berzina dengan perasaan takut kepada Allah, maka dia termasuk orang yang akan mendapat perlindungan dari Allah yang pada hari itu tidak ada perlingungan kecuali hanya dari Allah Swt, hal ini disabdakan oleh Rasulullah Saw:

Tujuh golongan orang yang akan dinaungi oleh Allah yang pada hari itu tidak ada naungan selain naungan-Nya: ... seorang laki-laki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang punya kedudukan dan kecantikan, lalu ia berkata: Sesungguhnya aku takut kepada Allah (HR. Bukhari dan Muslim).

Disamping itu, mengagungkan wanita juga bisa kita pahami sebagai memenuhi keinginan-keinginan yang tidak baik dari wanita, termasuk seorang suami yang takut kepada isterinya sehingga harus memenuhi keinginan isterinya yang tidak benar sehingga ketakutan kepada isteri membuat suami tidak berani meluruskan atau memperbaiki kesalahan isterinya, padahal isteri merupakan tanggung jawab suami untuk diselamatkan dari api neraka, Allah berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (QS 66:6).

Gila Harta.
Dalam Islam, uang dan harta merupakan sesuatu yang boleh dicari dan dimiliki, namun semua itu harus dalam kendali bukan malah manusia dikendalikan oleh harta, bila itu yang terjadi, maka harta telah dijadikan sebagai agama sehingga tujuan hidupnya adalah memperbanyak harta, termasuk dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya sehingga dengan demikian manusia dilalaikan oleh hartanya, ini merupakan sesuatu yang amat buruk, Allah Swt sendiri telah mengingatkan soal itu di dalam firman-Nya: Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu) itu (QS 102:1-4).

Oleh karena itu, Allah Swt berfirman untuk mengingatkan orang-orang yang beriman agar tidak lupa kepada Allah hanya karena persoalan harta, Allah berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi (QS 63:9).

Dari gambaran di atas, amat terasa bahwa ciri-ciri generasi yang terburuk sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah Saw ternyata dimiliki oleh generasi kita pada masa sekarang, itu sebabnya, diantara generasi kita yang hidup pada masa sekarang termasuk ke dalam kelompok generasi yang terburuk. Karena itu, menjadi kewajiban kita bersama untuk memperbaiki generasi kita agar kehidupan masa depan dapat kita songsong dengan keyakinan dan optimisme sebagaimana mestinya.

Minggu, 08 Januari 2012

Rekayasa Sosial ( Bentuk-Bentuk Kesalahan Berpikir.)


1.      Fallacy Of Dramatic Instance
Bentuk kesalahan berpikir dengan melakukan dramatisasi atau berlebihan terhadap suatu gejala dan kejadian. Misalnya, fenomena Ospek di Unhas adalah pemandangan yang sudah lazim untuk tiap Mahasiswa. Konon, dalam suatu rapat himpunan, disepakati bahwa kekerasan akan dihilangkan karena secara esensial, manusia tak pernah menghendaki segala bentuk kekerasan atau penindasan terhadap dirinya.
Seorang peserta lalu membantah hal ini dan mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah benar. Ia lalu memberikan contoh fenomena dirinya, yang saat menjabat sebagai Mahasiswa Baru memang tidak senang ketika Ospek karena Ospek hanya ajang penindasan terhadap Mahasiswa Baru. Namun, ia lalu menambahkan bahwa, hal itu tak berlangsung lama. Karena, ia kemudian sadar bahwa dengan Ospek yang keras dan teramat disiplin yang serba kaku dan tak rasional, kini ia dapat menikmati hasilnya. Misalnya, dulu saat MaBa ia dipaksa untuk bangun pagi, sekarang ia dapat dengan mudah untuk bangun pagi, dulu ia dibentak dan dimaki, kini ia bisa tahan dengan segala bentuk bentakan baik dari orang tuanya ataupun dari seorang kakaknya yang kebetulan seorang tentara.
Pada dasarnya, pendapat ini bisa saja terjadi. Namun, kita tak dapat meng-umum-kan pendapat ini diberlakukan kepada yang lain. Karena, seorang yang sering dibentak misalnya, bisa saja menghasilkan efek yang berbeda. Atupun seseorang yang senantiasa dipaksa untuk disiplin dan bukan karena kehendaknya sendiri, bisa jadi menghasilkan kesimpulan yang lain. Dalam arti, bahwa teman kita itu sudah terjebak dengan Fallacy Of Dramatic Instance, yang seenakhatinya melakukan Overgeneralisasi fenomena dirinya untuk pula dapat diterapkan pada orang lain.

2.      Fallacy Of Determinism

Yaitu kesalahan berpikir yang menganggap bahwa kesalahan atau apa yang terjadi hari ini, berasal dari masa lalu, hingga olehnya itu tidak lagi bisa dirubah. Misalnya, sebagian orang menganggap bahwa kemiskinan bukan saja fenomena yang ada di masa kini. Namun, sejak awal kelahiran manusia di bumi dan mengenal hidup bermasyarakat, kaya dan miskin sudah menjadi keniscayaan. Makanya, tak perlu repot-repot mengurusi permasalahan tentang kemiskinan. Bagaimanapun kita tak akan menemukan obat dan solusinya. Karena, kemiskinan sudah secara alami tumbuh seiring kehadiran manusia.

3.      Post Hoc Ergo Propter Hoc
Kata Post, dapat diartikan sesudah, Hoc berarti demikian itu, Ergo dimaknai sebagai dari pada itu, Propter berarti kemudian itu. Dari pengertian itu dapat ditarik kesimpulan bahwa, Post Hoc Ergo Propter Hoc, adalah bentuk kesalahan berpikir yang menghubungkan dua kejadian beriringan yang sebenarnya tak berhubungan.
Fenomena ini dapat dicontohkan dengan perilaku masyarakat yang biasanya menghubungkan antara kematian seseorang misalnya, dengan hujan yang turun sesudah kematian seseorang tersebut. Atau, perilaku masyarakat yang biasanya menghubungkan antara jenis barang tertentu dengan kekuatan yang dimiliki oleh orang atau tempat berdiamnya benda atau barang tersebut. 

4.      Fallacy Of Misplaced Concretness
Fallacy of Misplaced Concretness adalah bentuk kesalahan berpikir yang dilakukan oleh seseorang, atau kelompok sosial tertentu, dengan mengkonkritkan sesuatu yang pada dasarnya adalah abstrak dan tidak benar-benar eksis. Biasanya dapat diamati pada banyak ahli yang kadang bicara dengan tidak jelas dan memberikan solusi yang sangat umum untuk lari dari ketidaktahuannya.
Pernah satu diskusi digelar tentang permasalahan kemiskinan di kota besar. Seorang ahli lalu berargumen bahwa kemiskinan di kota besar lebih diakibatkan pada struktur. Pertanyaanya, apa yang dimaksudkan dengan struktur dalam hal ini. Jangan sampai struktur itu hanya wacana yang diciptakan oleh seorang ahli untuk lari dari memberikan jawaban yang tegas tentang alur penyebab kemiskinan.

5.      Argumentum ad Verecundiam
Tak dapat dipungkiri bahwa tafsir atas kitab atau perkataan utusan Tuhan, dapat saja berbeda pada tiap orang. Hal ini biasanya malah digunakan oleh sebagian pemuka agama untuk berlindung dari pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghakimi dirinya secara langsung. Misalnya, seorang pemuka agama ditanya, mengapa minuman keras itu dilarang di negara-negara Arab, sedangkan di negara-negara Barat, justru dijual bebas.
Seorang ahli khutbah, mungkin dapat menjawab pertanyaan ini. Namun, bagi mereka yang memiliki pengalaman keberagamaan secara literer sekedar dalam dalam ta’wil kitab dan perkataan utusan semata, ia mungkin hanya akan mengatakan bahwa minuman keras itu dilarang, karena agama mengharamkan minuman keras. Orang seperti ini, kemungkinan terjebak dalam argumentum ad Verecundiam, yaitu berargumen dengan menggunakan otoritas yang pada dasarnya tak lagi bisa dibantah dalam tafsir pembuat argumen.

6.      Fallacy Of Composition
Fallacy of Compocition, yakni bentuk kesalahan berpikir yang menggunakan argumen yang tidak memiliki koherensi dalam tataran logis. Hingga secara literer penafsiran awam sekalipun akan melihat jeda atau ketakkonsistensi pembuat argumen dalam menyusun dan menafsirkan wacana yang sedang dibangunnya sendiri.

7.      Circular Reasoning
Seseorang pernah ditanya, darimana ia dapat mengenal Tuhan. Ia lalu menjawab, dari kitab suci. Terus ia ditanyai lagi, lalu dari mana kitab suci dikenali? Ia menjawab, dari utusan Tuhan di muka bumi. Lalu ia ditanyai kembali, lalu dari mana kita mengenal utusan Tuhan? Ia menjawab, dari Tuhan.
Pada dasarnya jawaban ini tidaklah salah. Namun, dengan melirik sekilas, ini adalah bentuk kesalahan berpikir. Oleh karena, ada rantai yang tidak dijawab oleh seseorang, hingga menyebabkan ia hanya berputar-putar dan akhirnya kebingungan sendiri dengan argumen yang dibangunnya. Bentuk kesalahan berpikir ini dikenali dengan circular reasoning atau berputar-putar.

AKal dan konsep Ketuhanan


Meskipun meyakini adanya Tuhan adalah masalah Fithri yang tertanam dalam diri setiap manusia, namun karena kecintaan mereka kepada dunia yang berlebihan sehingga mereka disibukkan dengannya, mengakibatkan mereka lupa kepada Sang Pencipta dan kepada jati diri mereka sendiri. Yang pada gilirannya, cahaya Fitrah mereka redup atau bahkan padam.
Walaupun demikian, jalan menuju Allah itu banyak. Para Ahli ma'rifat berkata,"Jalan-jalan menuju ma'rifatullah sebanyak nafas makhluk." Salah satu jalan ma'rifatullah adalah akal. Terdapat sekelompok kaum muslim, golongan ahli hadis (Salafi) atau Wahabi, yang menolak peran aktif akal sehubungan dengan ketuhanan. Mereka berpendapat, bahwa satu-satunya jalan untuk mengetahui Allah adalah nash (Al-Qur'an dan hadis). Merka beralasan dengan adanya sejumlah ayat atau riwayat yang secara lahiriah melarang menggunakan akal (ra'yu). Padahal kalau kita perhatikan, ternyata Al-Qur'an dan hadis sendiri mengajak kita untuk menggunakan akal, bahkan menggunakan keduanya ketika menjelaskan keberadaan Allah lewat argumentasi (burhan) Aqli. Pada edisi berikutnya, Insya Allah akan kita bicarakan tentang Al-Qur'an, hadis dan konsep ketuhanan.
Dalam persepsi mereka, membicarakan agama adalah suatu hal yang sangat sensitif dan akan merenggangkan hubungan antara manusia. Agama merupakan sesuatu yang sangat personal dan tidak perlu diungkap dalam forum-forum umum dan terbuka. Jika harus berbicara agama pun, maka ruang lingkupnya harus dibatasi pada sisi peribadatan saja.

Bisakah Tuhan dibuktikan dengan akal ?

Sebenarnya pertanyaan ini tidaklah tepat, karena bukan saja Allah bisa dibuktikan dengan akal. Bahkan, pada beberapa kondisi dan situasi hal itu harus dibuktikan dengan akal, dan tidak mungkin melakukan pembuktian tanpa akal.
Anggapan yang mengatakan, bahwa pembuktian wujud Allah hanya dengan nash saja adalah anggapan yang sangat naif. Karena bagaimana mungkin seseorang menerima keterangan Al-Qur'an, sementara dia belum mempercayai wujud (keberadaan) sumber Al-Qur'an itu sendiri, yaitu Allah Ta'ala.
Lebih naif lagi, mereka menerima keterangan Al-Qur'an lantaran ia adalah kalamullah atau sesuatu yang datang dari Allah. Hal itu berarti, mereka telah meyakini wujud Allah sebelum menerima keterangan Al-Qur'an. Lalu mengapa mereka meyakini wujud Allah.
Mereka menjawab,"Karena Al-Qur'an mengatakan demikian." Maka terjadilah daur (Lingkaran Setan?, lihat istilah daur pada pembahasan selanjutnya). Dalam hal ini, Al-Qur'an dijadikan sebagai pendukung dan penguat dalil aqli.
Para ulama, ketika membuktikan wujud Allah dengan menggunakan burhan aqli, terkadang melalui pendekatan kalami (teologis) atau pendekatan filosofis.
Pada kesempatan ini Insya Allah kami mencoba menjelaskan keduanya secara sederhana dan ringkas.

Burhan-burhan Aqli-kalami tentang keniscayaan wujud Allah Ta'ala

1. Burhan Nidham (Keteraturan)
Burhan ini dibangun atas beberapa muqaddimah (premis).
Pertama, bahwa alam raya ini penuh dengan berbagai jenis benda, baik yang hidup maupun yang mati.
Kedua, bahwa alam bendawi (tabi'at) tunduk kepada satu peraturan. Artinya, setiap benda yang ada di alam ini tidak terlepas dari pengaruh undang-undang dan hukum alam.
Ketiga, hukum yang menguasai alam ini adalah hukum kausalitas ('ilaliyyah), artinya setiap fenomena yang terjadi di alam ini pasti dikarenakan sebuah sebab ('illat), dan tidak mungkin satu fenomena terjadi tanpa sebab. Dengan demikian, seluruh alam raya ini dan segala yang ada di dalamnya, termasuk hukum alam dan sebab-akibat, adalah sebuah fenomena dari sebuah puncak sebab (prima kausa, atau 'illatul 'ilal).
Keempat, "sebab" atau 'illat yang mengadakan seluruh alam raya ini tidak keluar dari dua kemungkinan, yaitu "sebab" yang berupa benda mati atau sesuatu yang hidup.
Kemungkinan pertama tidak mungkin, karena beberapa alasan berikut : Pertama, alam raya ini sangat besar, indah dan penuh keunikan. Hal ini menunjukkan bahwa "sebab" yang mengadakannya adalah sesuatu yang hebat, pandai dan mampu. Kehebatan, kepandaian dan kemampuan, merupakan ciri dan sifat dari sesuatu yang hidup. Benda mati tidak mungkin disifati hebat, pandai dan mampu.
Kedua, benda-benda yang ada di alam ini beragam dan bermacam-macam, di antaranya adalah manusia. Manusia merupakan salah satu bagian dari alam yang palin menonjol. Dia pandai, mampu dan hidup. Mungkinkah manusia yang pandai, mampu dan hidup terwujud dari sesuatu yang mati ?
Kesimpulannya, bahwa alam raya ini mempunyai "sebab" atau 'illat, dan "sebab" tersebut adalah sesuatu yang hidup. Kaum muslimin menamai "sebab" segala sesuatu itu dengan sebutan Allah Ta'ala.

2. Burhan al-Huduts (Kebaruan)
Al-Huduts atau al-Hadits berarti baru, atau sesuatu yang pernah tidak ada. Burhan ini terdiri atas beberapa hal :
Pertama, bahwa alam raya ini hadits, artinya mengalami perubahan dari tidak ada menjadi ada dan akhirnya tidak ada lagi.
Kedua, segala sesuatu yang asalnya tidak ada kemudian ada, tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti dia menjadi ada karena "sebab" sesuatu.
Ketiga, yang menjadikan alam raya ini ada haruslah sesuatu yang qadim, yakni keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Keberadaannya kekal dan abadi. Karena, jika sesuatu yang mengadakan alam raya ini hadits juga, maka Dia-pun ada karena ada yang mengadakannya, demikian seterusnya (tasalsul). Tasalsul yang tidak berujung seperti ini mustahil. Dengan demikian, pasti ada 'sesuatu' yang keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Kaum muslimin menamakan 'sesuatu' itu dengan sebutan Allah Ta'ala.

Burhan-burhan Aqli-Filosofi tentang kenicayaan wujud Allah Ta'ala

A. Burhan Imkan Sebelum menguraikan burhan ini, ada beberapa istilah yang perlu diperjelas terlebih dahulu :

Wajib, yaitu sesuatu yang wujudnya pasti, dengan sendirinya dan tidak membutuhkan kepada yang lain.
Imkan atau mumkin, sesuatu yang wujud (ada) dan 'adam (tiada) baginya sama saja (tasawiy an-nisbah ila al-wujud wa al-'adam). Artinya sesutu yang ketika 'ada' disebabkan faktor eksternal, atau keberadaannya tidak dengan sendirinya. Demikian pula, ketika 'tidak ada' disebabkan faktor eksternal pula, atau ketiadaannya juga tidak dengan sendirinya. Dia tidak membias kepada wujud dan kepada ketiadaan. Menurut para filosuf, hal ini merupakan ciri khas dari mahiyah (esensi).
Mumtani' atau mustahil, yaitu sesuatu yang tidak mungkin ada dan tidak mungkin terjadi, seperti sesuatu itu ada dan tiada pada saat dan tempat yang bersamaan (ijtima'un naqidhain).
Daur (siklus atau lingkaran setan). Misal, A keberadaannya tergantung/membutuhkan B, sedangkan B keberadaannya tergantung/membutuhkan A. Jadi A tidak mungkin ada tanpa keberadaan B terlebih dahulu, demikian pula B tidak mungkin ad tanpa keberadaan A terlebih dahulu. Dengan demikian, A tidak akan a




Senin, 19 Desember 2011

Hukum Tuhan vs Hukum Manusia



Salah satu perbedaan utama dari hukum Tuhan dan hukum manusia adalah, Hukum Tuhan memiliki dua dimensi sedangkan hukum manusia hanya memiliki satu dimensi. Hukum Tuhan memilik aspek spiritual sedangkan hukum manusia tidak memiliki aspek ini, dengan kata lain hukum manusia tidak pernah akan meningkatkan spiritualitas seseorang.



Hal ini mungkin akan lebih mudah dipahami jika kita ambil sebuah perumpamaan hukum, katakanlah hukum tentang ‘pajak’. Jika hukum pajak buatan manusia ditetapkan, maka bagi sipembuat hukum yang penting adalah bagaimana supaya siwajib pajak bisa memenuhi target kebutuhan negara.



Pemerintah [ sipembuat peraturan] tidak mau tahu apakah masyarakat akan membayar pajak dengan sukarela atau terpaksa, bagi pemerintah siapa saja yang tidak membayar pajak atau tidak patuh terhadap hukum buatan pemerintah maka yang bersangkutan akan dianggap melanggar hukum. Sebaliknya barang siapa membayar dengan sadar atau karena terpaksa, maka itu sudah dianggap patuh dan diterima sebagai warga negara yang baik.



Tujuan pemerintah hanya untuk memperoleh pendapatan khas negara, pemerintah tidak akan peduli apakah dia akan dikecam atau didemo atas hukum yang dibuatnya, yang penting target pemerintah tercapai maka semuanya akan dianggap baik saja.



Berbeda dengan hukum ‘pajak’ yang dibuat oleh Tuhan, didalam Islam hukum ‘pajak’ ini dikenal dengan istliah ‘zakat’. Hukum Tuhan tidak mempunyai tujuan untuk memenuhi khas Tuhan dan dengan sendirinya yang disebut ‘patuh’ atau tidak patuh juga tidak bisa diukur dengan seseorang telah membayar atau belum membayar zakat. Hukum Tuhan penekanannya kepada NIAT dan Nilai spiritual, Tuhan tidak akan menerima zakat yang dibayarkan oleh siwajib zakat jika sipembayar tidak rela dan ikhlas.



Begitu juga kalau kita lihat hukum-hukum yang lain, misalnya hukum tentang membela negara. Jika hukum buatan manusia ditetapkan maka tentara sebagai pilar utama alat bela negara di anggap ‘patuh hukum’ jika tentara ikut berperang atas perintah pemerintah. Mengenai apakah mereka berperang karena membela yang benar atau salah itu bukan menjadi persoalan hukum sipenguasa, apakah mereka ikut berperang karena kesadaran hati atau karena takut kepalanya ditembak oleh komandanya itu bukan menjadi ukuran kepatuhan hukum.



Sangat berbeda dengan hukum bela negara yang di bikin oleh Tuhan, untuk urusan berperang membela negara Tuhan tidak menilai kepatuhan mereka terhadap hukum berdasarkan atas keikutan mereka berperang saja, tetapi yang dilihat adalah masalah substansi berperang itu sendiri, apakah prajurit yang ikut berperang itu untuk membela yang benar atau yang salah. Apakah prajurit yang ikut bertempur itu adalah atas kesadaran sendiri atau karena terpaksa.  Hukum Tuhan menilai ‘kepatuhan’ hukum itu secara utuh yakni kesatuan antara jasmani [perbuatan] dan rohani [NIAT]. Hukum Tuhan menghendaki semua hukum itu dilakukan dengan jiwa dan bukan tanpa jiwa. Dengan kata lain hukum Tuhan itu tidak bisa dikerjakan hanya secara lahirih saja tanpa ruh sedangkan hukum manusia tidak pernah menilai sisi ruh (niat) si objek hukum.

befikir yang benar



Sejak kecil sebenarnya saya sudah selalu berpikir “takut berpikir”, saya sering takut berpikir karena saya tidak pernah yakin (sesungguhnya) bahwa apa yang saya pikirkan itu adalah sesuatu yang benar.

Bermula ketika saya duduk dibangku sekolah dasar diawal tahun tujuh puluhan. Saat itu saya diminta oleh zuster saya untuk menjelaskan didepan kelas apa arti sebuah persahabatan bagi saya. Semalaman saya berpikir bahwa sahabat itu adalah teman bermain, sahabat itu selalu ada disamping kita, sahabat itu selalu berkata jujur, sahabat itu selalu setia, sahabat itu titik, titik, titik... yang semuanya berisi kaidah dasar moral, etika dan agama yang diajarkan oleh orang tua dirumah maupun para tetua disekolah.

Namun menjelang keberangkatan saya ke sekolah, esok harinya, didalam mobil duduk ditengah diapit oleh kedua kakak saya, saya berpikir, bagaimana kalau suatu hari saya tidak masuk dan tidak bermain dengan sahabat saya, apakah artinya saya sudah tidak menjadi sahabat lagi? Bagaimana kalau suatu saat saya tidak ada disampingnya, apakah gugur sudah jabatan saya sebagai seorang sahabat, bagaimana apabila suatu saat saya tidak jujur kepadanya, karena saya tahu dengan pasti bahwa sahabat saya itu cengeng dan dia akan selalu menangis berteriak, memekakkan kuping kiri dan kuping kanan saya hanya karena tahu bahwa hari itu Ibu Maria tidak masuk dan akan digantikan oleh Zuster Paula yang tidak disukainya, dan bagaimana-bagaimana lainnya yang memenuhi kepala saya apabila saya tidak dapat memenuhi persyaratan yang telah saya pikirkan masak-masak untuk memaparkan dihadapan teman-teman saya nanti, apakah arti sahabat itu bagi saya.

Tepat jam tujuh lewat sepuluh menit, sesaat setelah berdiri tegak rapi berbaris untuk memasuki ruang kelas dan mata pelajaran pertama diawali dengan berdoa Bapak kami


bersama-sama, saya berjalan maju kedepan kelas, dan saat itulah saya terpaksa mengubah semua konsep pemikiran yang sebelumnya telah saya rancang dengan sebaik-baiknya bahwa sahabat tidak harus selalu ada, sahabat tidak harus selalu berada disamping, sahabat tidak harus selalu jujur, tetapi, satu yang saya pikir tetap harus dipertahankan, bahwa menjadi sahabat itu harus selalu setia, disaat suka maupun duka.

Sambil terbata-bata (karena takut melihat sosok Zuster Eduarda yang berbadan bak raksasa pemangsa Hazel & Gretel), saya sampaikan pokok pikiran saya perlahan sambil tetap berpikir, apakah pikiran saya ini benar atau tidak.

Dan ternyata, kebiasaan tersebut berlanjut sampai sekarang. Sekian puluh tahun sudah terlewati dan saya masih sering ragu (walaupun 99% orang yang mengenal saya mengatakan bahwa saya adalah tipe mahluk Tuhan yang kelewat pédé), apakah yang saya pikirkan ini adalah benar, tepatnya, tidak hanya benar tetapi baik dan benar.

Jari tangan dan jari kaki saya tidak cukup untuk menghitung berapa orang pandai yang dimiliki oleh bangsa ini. Luar biasa banyaknya. Tidak hanya mereka yang pandai disertai sederet huruf besar perlambang strata pendidikan diawal dan-atau diakhir nama mereka, tetapi sederet orang pandai tanpa gelar atau yang memang tidak bersedia membuang-buang tinta demi mencetak gelar yang telah “dengan susah atau dengan mudah” mereka dapatkanpun jumlahnya sangat banyak.

Sangat menyenangkan dan membanggakan bahwa kita benar-benar memiliki banyak orang pandai yang pastilah mereka dapat menyumbangkan pemikirannya untuk kemajuan bumi ini.

Namun, kenapa kita tidak juga maju? Kenapa kita tidak juga makmur? Kenapa kita tidak juga merasakan keadilan yang merata? Kenapa juga kita tidak merasakan kedamaian dan kebebasan yang hakiki dalam kehidupan yang semakin tua ini?

Kembali saya berpikir (walaupun tetap merasa apakah pikiran saya ini benar), apakah mereka semua para cerdik pandai itu telah benar-benar berpikir, meluangkan waktunya untuk memerah bermiliar sel dikepala mereka masing-masing untuk kemudian diamalkan kepada seluruh kawula diwilayah Nusantara ini, sehingga minimal sejajarlah kita dengan negara tetangga yang telah lebih dahulu dikenal oleh dunia kebanyakan (karena kemajuan ekonominya, kemajuan teknologinya, kemakmuran rakyatnya dan lain sebagainya, bukan karena bom di Bali, bukan karena sekeluarga kompak bunuh diri dan saling membunuh dan bukan juga karena telah berhasil menjadi jawara pertama dalam lomba korupsi dan kemacetan ibu kota).

Seandainya, mari kita berpikir sambil berandai-andai, para cerdik pandai itu dengan segala kekurangan dan kelebihannya bersatu padu, mengutamakan kepentingan bersama, kepentingan para Ibu dan Bapak tua yang terseok-seok berhimpitan, kepanasan dan pada akhirnya pingsan hanya untuk tiga lembar uang IDR berwarna merah yang dibagikan oleh para juru bayar pemerintahan, mengutamakan kepentingan anak-anak yang kesulitan belajar dengan tenang, tidak takut kehujanan, tidak takut kepanasan dan tidak takut mati tertindih atap yang sudah reyot (karena kalau takut tidak bisa bayaran sekolah itu sudah basi), para cerdik pandai yang mau mengutamakan para Ibu yang selalu mengeluh dipasar karena setiap hari harga berubah-ubah, para Bapak yang merasa kesal karena setiap kali sampai dirumah para isteri sudah siap dengan keluhan baru perihal uang, uang dan uang lagi...., seandainya para pandai mau berpikir tanpa harus merasa was-was akan kedudukannya, merasa was-was karena pundi-pundi yang belum juga membengkak, merasa was-was karena ancaman para pihak yang akan menyerang diri dan keluarganya (akibat hutang budi atau hutang uang masa lalu) apabila hasil pikirannya yang dirasa benar, benar-benar dipublikasikan dan diaplikasikan dalam regulasi-regulasi kepemerintahan, saya yakin, dan Anda juga pastinya, apa yang saya pikirkan selama ini pastilah benar, benar menjadi kenyataan bahwa kita juga bisa menjadi bangsa yang sama majunya dengan bangsa lain diplanet biru ini.

Saya lelah, saya (maaf) muak dan pada akhirnya saya lebih senang menonton acara bertema binatang atau masak-memasak dari pada harus menonton dan mendengarkan berita yang penuh dengan kesulitan (yang sebenarnya adalah kesulitan yang dibuat oleh “kita sendiri”), berita yang penuh dengan kejahatan (yang sebenarnya kejahatan yang dibuat oleh “kita sendiri”) dan yang terparah adalah berita yang penuh dengan kebodohan (yang sebenarnya kebodohan itu adalah ciptaan “kita sendiri”).

Akhirnya saya kembali berpikir lagi, apakah mereka semua sudah berpikir dengan benar dan baik atau ternyata mereka hanya sekelompok orang yang selalu merasa “gue pikir gue bener, gue pikir gue baik....”

Sayang, saya hanyalah seorang KINI2603, jadi saya hanya dapat berpikir dan menulis, itupun sambil merasa was-was, apakah pikiran saya itu benar dan baik adanya...

APA ITU KERANGKA BERPIKIR ?


START TO WRITE

Kerangka berpikir berbeda dengan sekumpulan informasi atau hanya sekedar sebuah pemahaman. Lebih dari itu kerangka berpikir adalah sebuah pemahaman yang melandasi pemahaman-pemahaman yang lainnya, sebuah pemahaman yang paling mendasar dan menjadi pondasi bagi setiap pemikiran selanjutnya.

Untuk mendapatkan sebuah kerangka berpikir akan suatu hal bukan sesuatu yang mudah, diperlukan suatu pemikiran yang mendalam, tidak menyimpulkan hanya dari fakta yang dapat terindra, atau hanya dari sekedar informasi-informasi yang terpenggal. Selain itu diperlukan sebuah pemikiran yang cerdas dan mustanir (cemerlang) akan setiap maqlumat tsabiqah (informasi ) yang dimilikinya dan berupaya dengan keras menyimpulkan sesuatu kesimpulan yang memunculkan keyakinan.

Saya ambil sebuah contoh, karena dengan contoh ini dapat dengan mudah kita memahami apa itu kerangka berpikir. Pada SMA saya memiliki sebuah teman yang banyak sekali membaca buku tentang konsep-konsep islam dan juga umum. Saya agak ‘terhibur’ (membuat saya tersenyum), setiap kali dia membaca sebuah buku dia akan dengan semangat menceritakan pemahaman dia sesuai dengan yang dia baca. Tetapi yang lucu bagi saya adalah, pemahamannya seakan ‘berubah-ubah’ sesuai dengan buku apa yang dia baca terakhir. Apa yang terjadi pada teman saya tersebut dikarenakan dia belum memiliki kerangka berpikir sehingga apa yang dia ketahui sebenarnya hanya penggalan-penggalan informasi. Walaupun begitu saya salut dengan dia karena dia memiliki wawasan yang luas, sayang tidak dibingkai dengan sebuah kerangka berpikir.


Kemudian bagaimana mengetahui kita telah memiliki kerangka berpikir?

Seperti yang saya jelaskan diatas, kerangka berpikir adalah pemahaman yang paling mendasar yang mendukung pemahaman selanjutnya. Suatu tolak ukur yang paling mudah adalah apakah kita telah memahami pemahaman yang paling mendasar tersebut, atau pertanyaan sebelum itu, apakah kita telah mengetahui pemahaman apa yang mendasari pemahaman-pemahaman selanjutnya. Saya akan jelaskan dengan contoh lagi.

Ketika dulu saya belajar mengenai kimia di SMA pada kelas 1, saya benar-benar tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh guru, sehingga mendapat nilai < 6 bukan suatu perkara yang aneh :D . kemudian pada kelas 2, secara ‘iseng’ teman saya mengajak saya tuk mengikuti olimpiade kimia, terima kasih buat teman saya tersebut. Pada soal-soal olimpiade ternyata saya mendapat sebuah pertanyaan yang lebih fundamental dan tidak terkesan ‘book oriented’ seperti di sekolah, tapi lebih bersifat analisis dan filosofis. Dari hal itu saya mulai menyadari ‘kerangka berpikir’ mengenai kimia. Sesungguhnya hampir semua konsep kimia seperti reaksi kimia, kesetimbangan, laju reaksi, larutan, pH, dll ditopang oleh konsep stoikiometri. Konsep Mol, atom keterkaitannya dengan ikatan-ikatan kimia antar atom dan molekul mendasari semua konsep-konsep kimia. Dari pemahaman yang baik mengenai kerangka berpikir kimia tersebut, membuat saya dapat dengan cepat mencerap informasi-informasi/konsep-konsep baru dalam hal kimia, dapat dengan mudah mengkaitkan konsep baru tersebut dengan kerangka berpikir yang telah terbentuk.

Walaupun begitu kerangka berpikir pada dasarnya adalah sebuah pemahaman, bisa jadi kerangka berpikir itu memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan. Pada saat olimpiade kimia di SMA, saya benar-benar ‘mentok’ dengan pembahasan mekanisme reaksi. Dengan konsep mol atau atom yang saya pahami sebelumnya, ternyata tidak bisa saya korelasikan sama sekali dengan konsep mekanisme reaksi. Sama seperti kita menyelesaikan permasalahan-permasalahan fisika klasik, maka konsep yang harus kita pahami untuk menciptakan kerangka berpikir adalah hukum-hukum newton, pengaruh gaya terhadap percepatan (F = ma) dan teman-temannya. Tetapi ketika masalah yang ditemukan kemudian adalah permasalahan fisika modern einstenian, dibutuhkan sebuah kerangka berpikir yang lain untuk menyelesaikannya.

Seperti saat saya memahami keislaman saya dengan benar, maka hal yang harus dipecahkan sebelumnya adalah pemahaman yang paling mendasar bagi setiap manusia “dari mana saya, whats the meaning of my existence in this world, dan akan kemana saya setelah mati” setelah pemahaman tersebut didapatkan maka saya telah membentuk sebuah kerangka berpikir mengenai konsep ketuhanan, konsep itu yang akan menopang keyakinan akan konsep-konsep selanjutnya, seperti konsep monoteisme dan al-qur’an sebagai wahyu dari sang pencipta. Atau dalam tataran fiqh islam dikenal yang namanya ushul fiqh, pada dasarnya fiqh praktis maupun ushul fiqh keduanya bersumber dari al-qur’an dan asunnah, sama-sama sebuah pemahaman. Tetapi dengan ushul fiqh, kita dapat memiliki suatu acuan yang jelas untuk dapat menghasilkan fiqh praktis melalu proses ijtihad.

Harus diingat kerangka berpikir pada dasarnya adalah sebuah pemahaman, layaknya sebuah pemahaman maka pemahaman tersebut dapat salah, kurang, atau tidak sempurna. Ini penting saya jelaskan, karena kadang terdapat orang-orang yang memiliki kerangka berpikir yang salah yang pada akhirnya melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang salah pula. Sebuah kerangka berpikir yang salah konsekuensinya akan semakin besar dibandingkan pemahaman yang salah, karena kerangka berpikir biasanya akan membentuk pola sikap dan pola pikir bagi yang memiliki kerangka berpikir tersebut. Saya ingin mengambil contoh orang-orang JIL (Jaringan Islam Liberal) yang jika disimak, ternyata dia menggunakan dalil al-qur’an dan assunnah tetapi dengan kerangka berpikir ‘kebebasan akal/penafsiran’, sehingga semakin banyak dalil yang dia miliki, dapat semakin banyak pula kesimpulan salah yang dia hasilkan.

Kemudian saya ingatkan pula kerangka berpikir itu layaknya sebuah pondasi pada sebuah rumah, pondasi tanpa atap, jendela, atau pintu sungguh suatu rumah yang tidak sedap dipandang, tidak dapat menaungi sang pemilik rumah, dan tidak memberikan kenyamanan. Atap, jendela, atau pintu dapat diibaratkan sebagai pemahaman-pemahaman turunan yang dihasilkan oleh kerangka berpikir tersebut. Semakin banyak ilmu/pengetahuan yang didapat dan dikaitkan dengan kerangka berpikir tersebut dan semoga diamalkan, maka semakin lengkaplah atap, jendela, atau pintu rumah tersebut. Tetapi sebaliknya banyaknya ilmu/pengetahuan tanpa didukung oleh kerangka berpikir yang kuat, bagaikan seorang penghuni rumah yang mewah tetapi selalu gelisah karena dia khawatir pondasi rumahnya akan hancur walau oleh sedikit goncangan.

Tetapi sangat sayang sekali, untuk menciptakan kerangka berpikir bagi saya membutuhkan waktu, fasilitas dan usaha yang cukup keras. Sedangkan tuntutan pendidikan saat ini justru tidak melihat hal tersebut, banyaknya materi yang harus dipahami dan hanya dalam waktu singkat ditambah dengan minimnya fasilitas baik alat maupun pendidik, menjadi suatu hal yang sangat…sangaaaat sulit bagi kebanyakan orang untuk menciptakan kerangka berpikir. Oleh karena itu banyak materi-materi kuliah yang dijalani hanya sebatas informasi jangankan membentuk sebuah kerangka berpikir, mengubah informasi tersebut menjadi sebuah pemahaman saja sudah syukur alhamdulillah. (dosen : alasan aja, kuliahnya aja jarang, gimana bisa ngerti toh mas…, mahasiswa : hehe)

Oleh karena itu kadang-kadang banyak orang memulai ‘belajar’ untuk menciptakan kerangka berpikir tersebut justru pada saat dia telah bekerja, karena pada saat bekerja dia bertemu fakta permasalahan secara langsung, dia coba kaitkan dengan teori-teori yang pernah dia pahami, kemudian dari beberapa kali usahanya menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut barulah dia mendapatkan pemahaman. Dari pemahaman-pemahaman yang didapatnya itu dia akan memikirkan sebenarnya apa yang mendasari permasalahan-permasalahan tersebut, maka terbentuklah kerangka berpikir dia mengenai permasalahan tersebut.




Close Sections
.Sebelum baca ini, lupakan dulu statement2 diatas, :D , biar clear aja
Kalau sebuah pembahasan terasa semakin kompleks dan membingungkan, kemudian kita sulit untuk mengikutinya, maka lebih baik kita ‘back to the big picture’. Pada intinya adalah:
1. Pemahaman apa sih yang mendasari konsep XYZ? or
2. Apa sih sebenarnya akar permasalahan dari masalah XYZ?