perisaipogogul
Senin, 29 Oktober 2012
Selasa, 24 Januari 2012
Minggu, 08 Januari 2012
Rekayasa Sosial ( Bentuk-Bentuk Kesalahan Berpikir.)
1.
Fallacy Of Dramatic Instance
Bentuk kesalahan berpikir
dengan melakukan dramatisasi atau berlebihan terhadap suatu gejala dan
kejadian. Misalnya, fenomena Ospek di Unhas adalah pemandangan yang sudah lazim
untuk tiap Mahasiswa. Konon, dalam suatu rapat himpunan, disepakati bahwa
kekerasan akan dihilangkan karena secara esensial, manusia tak pernah
menghendaki segala bentuk kekerasan atau penindasan terhadap dirinya.
Seorang peserta lalu
membantah hal ini dan mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah benar. Ia lalu
memberikan contoh fenomena dirinya, yang saat menjabat sebagai Mahasiswa Baru
memang tidak senang ketika Ospek karena Ospek hanya ajang penindasan terhadap
Mahasiswa Baru. Namun, ia lalu menambahkan bahwa, hal itu tak berlangsung lama.
Karena, ia kemudian sadar bahwa dengan Ospek yang keras dan teramat disiplin
yang serba kaku dan tak rasional, kini ia dapat menikmati hasilnya. Misalnya,
dulu saat MaBa ia dipaksa untuk bangun pagi, sekarang ia dapat dengan mudah
untuk bangun pagi, dulu ia dibentak dan dimaki, kini ia bisa tahan dengan
segala bentuk bentakan baik dari orang tuanya ataupun dari seorang kakaknya
yang kebetulan seorang tentara.
Pada dasarnya, pendapat
ini bisa saja terjadi. Namun, kita tak dapat meng-umum-kan pendapat ini
diberlakukan kepada yang lain. Karena, seorang yang sering dibentak misalnya,
bisa saja menghasilkan efek yang berbeda. Atupun seseorang yang senantiasa
dipaksa untuk disiplin dan bukan karena kehendaknya sendiri, bisa jadi
menghasilkan kesimpulan yang lain. Dalam arti, bahwa teman kita itu sudah
terjebak dengan Fallacy Of Dramatic Instance, yang seenakhatinya
melakukan Overgeneralisasi fenomena dirinya untuk pula dapat diterapkan pada
orang lain.
2.
Fallacy Of Determinism
Yaitu kesalahan berpikir yang menganggap
bahwa kesalahan atau apa yang terjadi hari ini, berasal dari masa lalu, hingga
olehnya itu tidak lagi bisa dirubah. Misalnya, sebagian orang menganggap bahwa
kemiskinan bukan saja fenomena yang ada di masa kini. Namun, sejak awal
kelahiran manusia di bumi dan mengenal hidup bermasyarakat, kaya dan miskin
sudah menjadi keniscayaan. Makanya, tak perlu repot-repot mengurusi
permasalahan tentang kemiskinan. Bagaimanapun kita tak akan menemukan obat dan
solusinya. Karena, kemiskinan sudah secara alami tumbuh seiring kehadiran
manusia.
3.
Post Hoc Ergo Propter Hoc
Kata Post, dapat diartikan sesudah, Hoc berarti
demikian itu, Ergo dimaknai sebagai dari pada itu, Propter berarti kemudian
itu. Dari pengertian itu dapat ditarik kesimpulan bahwa, Post Hoc Ergo Propter
Hoc, adalah bentuk kesalahan berpikir yang menghubungkan dua kejadian
beriringan yang sebenarnya tak berhubungan.
Fenomena ini dapat dicontohkan dengan perilaku masyarakat yang biasanya
menghubungkan antara kematian seseorang misalnya, dengan hujan yang turun
sesudah kematian seseorang tersebut. Atau, perilaku masyarakat yang biasanya
menghubungkan antara jenis barang tertentu dengan kekuatan yang dimiliki oleh
orang atau tempat berdiamnya benda atau barang tersebut.
4.
Fallacy Of Misplaced Concretness
Fallacy of Misplaced
Concretness adalah bentuk kesalahan berpikir yang dilakukan oleh seseorang,
atau kelompok sosial tertentu, dengan mengkonkritkan sesuatu yang pada dasarnya
adalah abstrak dan tidak benar-benar eksis. Biasanya dapat diamati pada banyak
ahli yang kadang bicara dengan tidak jelas dan memberikan solusi yang sangat
umum untuk lari dari ketidaktahuannya.
Pernah satu diskusi
digelar tentang permasalahan kemiskinan di kota besar. Seorang ahli lalu
berargumen bahwa kemiskinan di kota besar lebih diakibatkan pada struktur.
Pertanyaanya, apa yang dimaksudkan dengan struktur dalam hal ini. Jangan sampai
struktur itu hanya wacana yang diciptakan oleh seorang ahli untuk lari dari
memberikan jawaban yang tegas tentang alur penyebab kemiskinan.
5.
Argumentum ad Verecundiam
Tak dapat dipungkiri bahwa tafsir atas kitab atau
perkataan utusan Tuhan, dapat saja berbeda pada tiap orang. Hal ini biasanya
malah digunakan oleh sebagian pemuka agama untuk berlindung dari pertanyaan-pertanyaan
yang dapat menghakimi dirinya secara langsung. Misalnya, seorang pemuka agama
ditanya, mengapa minuman keras itu dilarang di negara-negara Arab, sedangkan di
negara-negara Barat, justru dijual bebas.
Seorang ahli khutbah, mungkin dapat menjawab pertanyaan
ini. Namun, bagi mereka yang memiliki pengalaman keberagamaan secara literer
sekedar dalam dalam ta’wil kitab dan perkataan utusan semata, ia mungkin hanya
akan mengatakan bahwa minuman keras itu dilarang, karena agama mengharamkan
minuman keras. Orang seperti ini, kemungkinan terjebak dalam argumentum ad
Verecundiam, yaitu berargumen dengan menggunakan otoritas yang pada dasarnya
tak lagi bisa dibantah dalam tafsir pembuat argumen.
6.
Fallacy Of Composition
Fallacy of Compocition, yakni bentuk kesalahan berpikir yang
menggunakan argumen yang tidak memiliki koherensi dalam tataran logis. Hingga
secara literer penafsiran awam sekalipun akan melihat jeda atau
ketakkonsistensi pembuat argumen dalam menyusun dan menafsirkan wacana yang
sedang dibangunnya sendiri.
7.
Circular Reasoning
Seseorang pernah ditanya,
darimana ia dapat mengenal Tuhan. Ia lalu menjawab, dari kitab suci. Terus ia
ditanyai lagi, lalu dari mana kitab suci dikenali? Ia menjawab, dari utusan
Tuhan di muka bumi. Lalu ia ditanyai kembali, lalu dari mana kita mengenal
utusan Tuhan? Ia menjawab, dari Tuhan.
Pada dasarnya jawaban ini tidaklah salah. Namun, dengan melirik
sekilas, ini adalah bentuk kesalahan berpikir. Oleh karena, ada rantai yang
tidak dijawab oleh seseorang, hingga menyebabkan ia hanya berputar-putar dan
akhirnya kebingungan sendiri dengan argumen yang dibangunnya. Bentuk kesalahan
berpikir ini dikenali dengan circular reasoning atau berputar-putar.
AKal dan konsep Ketuhanan
Meskipun meyakini adanya
Tuhan adalah masalah Fithri yang tertanam dalam diri setiap manusia, namun
karena kecintaan mereka kepada dunia yang berlebihan sehingga mereka disibukkan
dengannya, mengakibatkan mereka lupa kepada Sang Pencipta dan kepada jati diri
mereka sendiri. Yang pada gilirannya, cahaya Fitrah mereka redup atau bahkan
padam.
Walaupun demikian, jalan
menuju Allah itu banyak. Para Ahli ma'rifat berkata,"Jalan-jalan menuju
ma'rifatullah sebanyak nafas makhluk." Salah satu jalan ma'rifatullah
adalah akal. Terdapat sekelompok kaum muslim, golongan ahli hadis (Salafi) atau
Wahabi, yang menolak peran aktif akal sehubungan dengan ketuhanan. Mereka
berpendapat, bahwa satu-satunya jalan untuk mengetahui Allah adalah nash (Al-Qur'an
dan hadis). Merka beralasan dengan adanya sejumlah ayat atau riwayat yang
secara lahiriah melarang menggunakan akal (ra'yu). Padahal kalau kita
perhatikan, ternyata Al-Qur'an dan hadis sendiri mengajak kita untuk
menggunakan akal, bahkan menggunakan keduanya ketika menjelaskan keberadaan
Allah lewat argumentasi (burhan) Aqli. Pada edisi berikutnya, Insya Allah akan
kita bicarakan tentang Al-Qur'an, hadis dan konsep ketuhanan.
Dalam persepsi mereka,
membicarakan agama adalah suatu hal yang sangat sensitif dan akan merenggangkan
hubungan antara manusia. Agama merupakan sesuatu yang sangat personal dan tidak
perlu diungkap dalam forum-forum umum dan terbuka. Jika harus berbicara agama
pun, maka ruang lingkupnya harus dibatasi pada sisi peribadatan saja.
Bisakah Tuhan dibuktikan
dengan akal ?
Sebenarnya pertanyaan ini
tidaklah tepat, karena bukan saja Allah bisa dibuktikan dengan akal. Bahkan,
pada beberapa kondisi dan situasi hal itu harus dibuktikan dengan akal, dan
tidak mungkin melakukan pembuktian tanpa akal.
Anggapan yang mengatakan,
bahwa pembuktian wujud Allah hanya dengan nash saja adalah anggapan yang sangat
naif. Karena bagaimana mungkin seseorang menerima keterangan Al-Qur'an,
sementara dia belum mempercayai wujud (keberadaan) sumber Al-Qur'an itu
sendiri, yaitu Allah Ta'ala.
Lebih naif lagi, mereka
menerima keterangan Al-Qur'an lantaran ia adalah kalamullah atau sesuatu yang
datang dari Allah. Hal itu berarti, mereka telah meyakini wujud Allah sebelum
menerima keterangan Al-Qur'an. Lalu mengapa mereka meyakini wujud Allah.
Mereka menjawab,"Karena
Al-Qur'an mengatakan demikian." Maka terjadilah daur (Lingkaran Setan?,
lihat istilah daur pada pembahasan selanjutnya). Dalam hal ini, Al-Qur'an
dijadikan sebagai pendukung dan penguat dalil aqli.
Pada kesempatan ini Insya
Allah kami mencoba menjelaskan keduanya secara sederhana dan ringkas.
Burhan-burhan Aqli-kalami
tentang keniscayaan wujud Allah Ta'ala
1. Burhan Nidham
(Keteraturan)
Burhan ini dibangun atas
beberapa muqaddimah (premis).
Pertama, bahwa alam raya ini
penuh dengan berbagai jenis benda, baik yang hidup maupun yang mati.
Kedua, bahwa alam bendawi
(tabi'at) tunduk kepada satu peraturan. Artinya, setiap benda yang ada di alam
ini tidak terlepas dari pengaruh undang-undang dan hukum alam.
Ketiga, hukum yang menguasai
alam ini adalah hukum kausalitas ('ilaliyyah), artinya setiap fenomena yang terjadi
di alam ini pasti dikarenakan sebuah sebab ('illat), dan tidak mungkin satu
fenomena terjadi tanpa sebab. Dengan demikian, seluruh alam raya ini dan segala
yang ada di dalamnya, termasuk hukum alam dan sebab-akibat, adalah sebuah
fenomena dari sebuah puncak sebab (prima kausa, atau 'illatul 'ilal).
Keempat, "sebab"
atau 'illat yang mengadakan seluruh alam raya ini tidak keluar dari dua
kemungkinan, yaitu "sebab" yang berupa benda mati atau sesuatu yang
hidup.
Kemungkinan pertama tidak
mungkin, karena beberapa alasan berikut : Pertama, alam raya ini sangat besar,
indah dan penuh keunikan. Hal ini menunjukkan bahwa "sebab" yang
mengadakannya adalah sesuatu yang hebat, pandai dan mampu. Kehebatan,
kepandaian dan kemampuan, merupakan ciri dan sifat dari sesuatu yang hidup.
Benda mati tidak mungkin disifati hebat, pandai dan mampu.
Kedua, benda-benda yang ada
di alam ini beragam dan bermacam-macam, di antaranya adalah manusia. Manusia
merupakan salah satu bagian dari alam yang palin menonjol. Dia pandai, mampu
dan hidup. Mungkinkah manusia yang pandai, mampu dan hidup terwujud dari
sesuatu yang mati ?
Kesimpulannya, bahwa alam
raya ini mempunyai "sebab" atau 'illat, dan "sebab"
tersebut adalah sesuatu yang hidup. Kaum muslimin menamai "sebab"
segala sesuatu itu dengan sebutan Allah Ta'ala.
2. Burhan al-Huduts
(Kebaruan)
Al-Huduts atau al-Hadits
berarti baru, atau sesuatu yang pernah tidak ada. Burhan ini terdiri atas
beberapa hal :
Pertama, bahwa alam raya ini
hadits, artinya mengalami perubahan dari tidak ada menjadi ada dan akhirnya
tidak ada lagi.
Kedua, segala sesuatu yang
asalnya tidak ada kemudian ada, tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti dia
menjadi ada karena "sebab" sesuatu.
Ketiga, yang menjadikan alam
raya ini ada haruslah sesuatu yang qadim, yakni keberadaannya tidak pernah
mengalami ketiadaan. Keberadaannya kekal dan abadi. Karena, jika sesuatu yang
mengadakan alam raya ini hadits juga, maka Dia-pun ada karena ada yang
mengadakannya, demikian seterusnya (tasalsul). Tasalsul yang tidak berujung
seperti ini mustahil. Dengan demikian, pasti ada 'sesuatu' yang keberadaannya
tidak pernah mengalami ketiadaan. Kaum muslimin menamakan 'sesuatu' itu dengan
sebutan Allah Ta'ala.
Burhan-burhan Aqli-Filosofi
tentang kenicayaan wujud Allah Ta'ala
A. Burhan Imkan Sebelum
menguraikan burhan ini, ada beberapa istilah yang perlu diperjelas terlebih
dahulu :
Wajib, yaitu sesuatu yang
wujudnya pasti, dengan sendirinya dan tidak membutuhkan kepada yang lain.
Imkan atau mumkin, sesuatu
yang wujud (ada) dan 'adam (tiada) baginya sama saja (tasawiy an-nisbah ila
al-wujud wa al-'adam). Artinya sesutu yang ketika 'ada' disebabkan faktor
eksternal, atau keberadaannya tidak dengan sendirinya. Demikian pula, ketika
'tidak ada' disebabkan faktor eksternal pula, atau ketiadaannya juga tidak
dengan sendirinya. Dia tidak membias kepada wujud dan kepada ketiadaan. Menurut
para filosuf, hal ini merupakan ciri khas dari mahiyah (esensi).
Mumtani' atau mustahil, yaitu
sesuatu yang tidak mungkin ada dan tidak mungkin terjadi, seperti sesuatu itu
ada dan tiada pada saat dan tempat yang bersamaan (ijtima'un naqidhain).
Daur (siklus atau lingkaran
setan). Misal, A keberadaannya tergantung/membutuhkan B, sedangkan B
keberadaannya tergantung/membutuhkan A. Jadi A tidak mungkin ada tanpa
keberadaan B terlebih dahulu, demikian pula B tidak mungkin ad tanpa keberadaan
A terlebih dahulu. Dengan demikian, A tidak akan a
Senin, 19 Desember 2011
Hukum Tuhan vs Hukum Manusia
Salah satu perbedaan
utama dari hukum Tuhan dan hukum manusia adalah, Hukum Tuhan memiliki dua
dimensi sedangkan hukum manusia hanya memiliki satu dimensi. Hukum Tuhan
memilik aspek spiritual sedangkan hukum manusia tidak memiliki aspek ini,
dengan kata lain hukum manusia tidak pernah akan meningkatkan spiritualitas
seseorang.
Hal ini mungkin akan
lebih mudah dipahami jika kita ambil sebuah perumpamaan hukum, katakanlah hukum
tentang ‘pajak’. Jika hukum pajak buatan manusia ditetapkan, maka bagi sipembuat
hukum yang penting adalah bagaimana supaya siwajib pajak bisa memenuhi target
kebutuhan negara.
Pemerintah [
sipembuat peraturan] tidak mau tahu apakah masyarakat akan membayar pajak
dengan sukarela atau terpaksa, bagi pemerintah siapa saja yang tidak membayar
pajak atau tidak patuh terhadap hukum buatan pemerintah maka yang bersangkutan
akan dianggap melanggar hukum. Sebaliknya barang siapa membayar dengan sadar
atau karena terpaksa, maka itu sudah dianggap patuh dan diterima sebagai warga
negara yang baik.
Tujuan pemerintah
hanya untuk memperoleh pendapatan khas negara, pemerintah tidak akan peduli
apakah dia akan dikecam atau didemo atas hukum yang dibuatnya, yang penting
target pemerintah tercapai maka semuanya akan dianggap baik saja.
Berbeda dengan hukum
‘pajak’ yang dibuat oleh Tuhan, didalam Islam hukum ‘pajak’ ini dikenal dengan
istliah ‘zakat’. Hukum Tuhan tidak mempunyai tujuan untuk memenuhi khas Tuhan
dan dengan sendirinya yang disebut ‘patuh’ atau tidak patuh juga tidak bisa diukur
dengan seseorang telah membayar atau belum membayar zakat. Hukum Tuhan
penekanannya kepada NIAT dan Nilai spiritual, Tuhan tidak akan menerima zakat
yang dibayarkan oleh siwajib zakat jika sipembayar tidak rela dan ikhlas.
Begitu juga kalau
kita lihat hukum-hukum yang lain, misalnya hukum tentang membela negara. Jika
hukum buatan manusia ditetapkan maka tentara sebagai pilar utama alat bela
negara di anggap ‘patuh hukum’ jika tentara ikut berperang atas perintah
pemerintah. Mengenai apakah mereka berperang karena membela yang benar atau
salah itu bukan menjadi persoalan hukum sipenguasa, apakah mereka ikut
berperang karena kesadaran hati atau karena takut kepalanya ditembak oleh
komandanya itu bukan menjadi ukuran kepatuhan hukum.
Sangat berbeda dengan
hukum bela negara yang di bikin oleh Tuhan, untuk urusan berperang membela
negara Tuhan tidak menilai kepatuhan mereka terhadap hukum berdasarkan atas
keikutan mereka berperang saja, tetapi yang dilihat adalah masalah substansi
berperang itu sendiri, apakah prajurit yang ikut berperang itu untuk membela
yang benar atau yang salah. Apakah prajurit yang ikut bertempur itu adalah atas
kesadaran sendiri atau karena terpaksa.
Hukum Tuhan menilai ‘kepatuhan’ hukum itu secara utuh yakni kesatuan
antara jasmani [perbuatan] dan rohani [NIAT]. Hukum Tuhan menghendaki semua
hukum itu dilakukan dengan jiwa dan bukan tanpa jiwa. Dengan kata lain hukum
Tuhan itu tidak bisa dikerjakan hanya secara lahirih saja tanpa ruh sedangkan
hukum manusia tidak pernah menilai sisi ruh (niat) si objek hukum.
befikir yang benar
Sejak
kecil sebenarnya saya sudah selalu berpikir “takut berpikir”, saya sering takut
berpikir karena saya tidak pernah yakin (sesungguhnya) bahwa apa yang saya
pikirkan itu adalah sesuatu yang benar.
Bermula
ketika saya duduk dibangku sekolah dasar diawal tahun tujuh puluhan. Saat itu
saya diminta oleh zuster saya untuk menjelaskan didepan kelas apa arti sebuah
persahabatan bagi saya. Semalaman saya berpikir bahwa sahabat itu adalah teman
bermain, sahabat itu selalu ada disamping kita, sahabat itu selalu berkata
jujur, sahabat itu selalu setia, sahabat itu titik, titik, titik... yang
semuanya berisi kaidah dasar moral, etika dan agama yang diajarkan oleh orang
tua dirumah maupun para tetua disekolah.
Namun
menjelang keberangkatan saya ke sekolah, esok harinya, didalam mobil duduk
ditengah diapit oleh kedua kakak saya, saya berpikir, bagaimana kalau suatu
hari saya tidak masuk dan tidak bermain dengan sahabat saya, apakah artinya
saya sudah tidak menjadi sahabat lagi? Bagaimana kalau suatu saat saya tidak
ada disampingnya, apakah gugur sudah jabatan saya sebagai seorang sahabat,
bagaimana apabila suatu saat saya tidak jujur kepadanya, karena saya tahu
dengan pasti bahwa sahabat saya itu cengeng dan dia akan selalu menangis
berteriak, memekakkan kuping kiri dan kuping kanan saya hanya karena tahu bahwa
hari itu Ibu Maria tidak masuk dan akan digantikan oleh Zuster Paula yang tidak
disukainya, dan bagaimana-bagaimana lainnya yang memenuhi kepala saya apabila
saya tidak dapat memenuhi persyaratan yang telah saya pikirkan masak-masak
untuk memaparkan dihadapan teman-teman saya nanti, apakah arti sahabat itu bagi
saya.
Tepat
jam tujuh lewat sepuluh menit, sesaat setelah berdiri tegak rapi berbaris untuk
memasuki ruang kelas dan mata pelajaran pertama diawali dengan berdoa Bapak
kami
bersama-sama,
saya berjalan maju kedepan kelas, dan saat itulah saya terpaksa mengubah semua
konsep pemikiran yang sebelumnya telah saya rancang dengan sebaik-baiknya bahwa
sahabat tidak harus selalu ada, sahabat tidak harus selalu berada disamping,
sahabat tidak harus selalu jujur, tetapi, satu yang saya pikir tetap harus
dipertahankan, bahwa menjadi sahabat itu harus selalu setia, disaat suka maupun
duka.
Sambil
terbata-bata (karena takut melihat sosok Zuster Eduarda yang berbadan bak
raksasa pemangsa Hazel & Gretel), saya sampaikan pokok pikiran saya
perlahan sambil tetap berpikir, apakah pikiran saya ini benar atau tidak.
Dan
ternyata, kebiasaan tersebut berlanjut sampai sekarang. Sekian puluh tahun
sudah terlewati dan saya masih sering ragu (walaupun 99% orang yang mengenal
saya mengatakan bahwa saya adalah tipe mahluk Tuhan yang kelewat pédé), apakah
yang saya pikirkan ini adalah benar, tepatnya, tidak hanya benar tetapi baik
dan benar.
Jari
tangan dan jari kaki saya tidak cukup untuk menghitung berapa orang pandai yang
dimiliki oleh bangsa ini. Luar biasa banyaknya. Tidak hanya mereka yang pandai
disertai sederet huruf besar perlambang strata pendidikan diawal dan-atau
diakhir nama mereka, tetapi sederet orang pandai tanpa gelar atau yang memang
tidak bersedia membuang-buang tinta demi mencetak gelar yang telah “dengan
susah atau dengan mudah” mereka dapatkanpun jumlahnya sangat banyak.
Sangat
menyenangkan dan membanggakan bahwa kita benar-benar memiliki banyak orang
pandai yang pastilah mereka dapat menyumbangkan pemikirannya untuk kemajuan bumi
ini.
Namun,
kenapa kita tidak juga maju? Kenapa kita tidak juga makmur? Kenapa kita tidak
juga merasakan keadilan yang merata? Kenapa juga kita tidak merasakan kedamaian
dan kebebasan yang hakiki dalam kehidupan yang semakin tua ini?
Kembali
saya berpikir (walaupun tetap merasa apakah pikiran saya ini benar), apakah
mereka semua para cerdik pandai itu telah benar-benar berpikir, meluangkan
waktunya untuk memerah bermiliar sel dikepala mereka masing-masing untuk
kemudian diamalkan kepada seluruh kawula diwilayah Nusantara ini, sehingga
minimal sejajarlah kita dengan negara tetangga yang telah lebih dahulu dikenal
oleh dunia kebanyakan (karena kemajuan ekonominya, kemajuan teknologinya,
kemakmuran rakyatnya dan lain sebagainya, bukan karena bom di Bali, bukan
karena sekeluarga kompak bunuh diri dan saling membunuh dan bukan juga karena
telah berhasil menjadi jawara pertama dalam lomba korupsi dan kemacetan ibu
kota).
Seandainya,
mari kita berpikir sambil berandai-andai, para cerdik pandai itu dengan segala
kekurangan dan kelebihannya bersatu padu, mengutamakan kepentingan bersama,
kepentingan para Ibu dan Bapak tua yang terseok-seok berhimpitan, kepanasan dan
pada akhirnya pingsan hanya untuk tiga lembar uang IDR berwarna merah yang
dibagikan oleh para juru bayar pemerintahan, mengutamakan kepentingan anak-anak
yang kesulitan belajar dengan tenang, tidak takut kehujanan, tidak takut
kepanasan dan tidak takut mati tertindih atap yang sudah reyot (karena kalau
takut tidak bisa bayaran sekolah itu sudah basi), para cerdik pandai yang mau
mengutamakan para Ibu yang selalu mengeluh dipasar karena setiap hari harga
berubah-ubah, para Bapak yang merasa kesal karena setiap kali sampai dirumah
para isteri sudah siap dengan keluhan baru perihal uang, uang dan uang lagi....,
seandainya para pandai mau berpikir tanpa harus merasa was-was akan
kedudukannya, merasa was-was karena pundi-pundi yang belum juga membengkak,
merasa was-was karena ancaman para pihak yang akan menyerang diri dan
keluarganya (akibat hutang budi atau hutang uang masa lalu) apabila hasil
pikirannya yang dirasa benar, benar-benar dipublikasikan dan diaplikasikan
dalam regulasi-regulasi kepemerintahan, saya yakin, dan Anda juga pastinya, apa
yang saya pikirkan selama ini pastilah benar, benar menjadi kenyataan bahwa
kita juga bisa menjadi bangsa yang sama majunya dengan bangsa lain diplanet
biru ini.
Saya
lelah, saya (maaf) muak dan pada akhirnya saya lebih senang menonton acara
bertema binatang atau masak-memasak dari pada harus menonton dan mendengarkan
berita yang penuh dengan kesulitan (yang sebenarnya adalah kesulitan yang
dibuat oleh “kita sendiri”), berita yang penuh dengan kejahatan (yang
sebenarnya kejahatan yang dibuat oleh “kita sendiri”) dan yang terparah adalah
berita yang penuh dengan kebodohan (yang sebenarnya kebodohan itu adalah
ciptaan “kita sendiri”).
Akhirnya
saya kembali berpikir lagi, apakah mereka semua sudah berpikir dengan benar dan
baik atau ternyata mereka hanya sekelompok orang yang selalu merasa “gue pikir
gue bener, gue pikir gue baik....”
Sayang,
saya hanyalah seorang KINI2603, jadi saya hanya dapat berpikir dan menulis,
itupun sambil merasa was-was, apakah pikiran saya itu benar dan baik adanya...
APA ITU KERANGKA BERPIKIR ?
START TO WRITE
Kerangka berpikir berbeda dengan sekumpulan informasi atau hanya
sekedar sebuah pemahaman. Lebih dari itu kerangka berpikir adalah sebuah
pemahaman yang melandasi pemahaman-pemahaman yang lainnya, sebuah pemahaman
yang paling mendasar dan menjadi pondasi bagi setiap pemikiran selanjutnya.
Untuk mendapatkan sebuah kerangka berpikir akan suatu hal bukan sesuatu
yang mudah, diperlukan suatu pemikiran yang mendalam, tidak menyimpulkan hanya
dari fakta yang dapat terindra, atau hanya dari sekedar informasi-informasi
yang terpenggal. Selain itu diperlukan sebuah pemikiran yang cerdas dan
mustanir (cemerlang) akan setiap maqlumat tsabiqah (informasi ) yang
dimilikinya dan berupaya dengan keras menyimpulkan sesuatu kesimpulan yang
memunculkan keyakinan.
Saya ambil sebuah contoh, karena dengan
contoh ini dapat dengan mudah kita memahami apa itu kerangka berpikir. Pada SMA
saya memiliki sebuah teman yang banyak sekali membaca buku tentang
konsep-konsep islam dan juga umum. Saya agak ‘terhibur’ (membuat saya tersenyum),
setiap kali dia membaca sebuah buku dia akan dengan semangat menceritakan
pemahaman dia sesuai dengan yang dia baca. Tetapi yang lucu bagi saya adalah,
pemahamannya seakan ‘berubah-ubah’ sesuai dengan buku apa yang dia baca
terakhir. Apa yang terjadi pada teman saya tersebut dikarenakan dia belum
memiliki kerangka berpikir sehingga apa yang dia ketahui sebenarnya hanya
penggalan-penggalan informasi. Walaupun begitu saya salut dengan dia karena dia
memiliki wawasan yang luas, sayang tidak dibingkai dengan sebuah kerangka
berpikir.
Kemudian bagaimana mengetahui kita telah memiliki
kerangka berpikir?
Seperti yang saya jelaskan diatas, kerangka berpikir
adalah pemahaman yang paling mendasar yang mendukung pemahaman selanjutnya.
Suatu tolak ukur yang paling mudah adalah apakah kita telah memahami pemahaman
yang paling mendasar tersebut, atau pertanyaan sebelum itu, apakah kita telah
mengetahui pemahaman apa yang mendasari pemahaman-pemahaman selanjutnya. Saya
akan jelaskan dengan contoh lagi.
Ketika dulu saya belajar mengenai kimia di SMA pada kelas 1, saya
benar-benar tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh guru, sehingga mendapat
nilai < 6 bukan suatu perkara yang aneh :D . kemudian pada kelas 2, secara
‘iseng’ teman saya mengajak saya tuk mengikuti olimpiade kimia, terima kasih
buat teman saya tersebut. Pada soal-soal olimpiade ternyata saya mendapat
sebuah pertanyaan yang lebih fundamental dan tidak terkesan ‘book oriented’
seperti di sekolah, tapi lebih bersifat analisis dan filosofis. Dari hal itu saya
mulai menyadari ‘kerangka berpikir’ mengenai kimia. Sesungguhnya hampir semua
konsep kimia seperti reaksi kimia, kesetimbangan, laju reaksi, larutan, pH, dll
ditopang oleh konsep stoikiometri. Konsep Mol, atom keterkaitannya dengan
ikatan-ikatan kimia antar atom dan molekul mendasari semua konsep-konsep kimia.
Dari pemahaman yang baik mengenai kerangka berpikir kimia tersebut, membuat
saya dapat dengan cepat mencerap informasi-informasi/konsep-konsep baru dalam
hal kimia, dapat dengan mudah mengkaitkan konsep baru tersebut dengan kerangka
berpikir yang telah terbentuk.
Walaupun begitu kerangka berpikir pada dasarnya adalah
sebuah pemahaman, bisa jadi kerangka berpikir itu memiliki kekurangan dan
ketidaksempurnaan. Pada saat olimpiade kimia di SMA, saya benar-benar ‘mentok’
dengan pembahasan mekanisme reaksi. Dengan konsep mol atau atom yang saya
pahami sebelumnya, ternyata tidak bisa saya korelasikan sama sekali dengan
konsep mekanisme reaksi. Sama seperti kita menyelesaikan
permasalahan-permasalahan fisika klasik, maka konsep yang harus kita pahami
untuk menciptakan kerangka berpikir adalah hukum-hukum newton, pengaruh gaya
terhadap percepatan (F = ma) dan teman-temannya. Tetapi ketika masalah yang
ditemukan kemudian adalah permasalahan fisika modern einstenian, dibutuhkan
sebuah kerangka berpikir yang lain untuk menyelesaikannya.
Seperti saat saya memahami keislaman saya dengan benar,
maka hal yang harus dipecahkan sebelumnya adalah pemahaman yang paling mendasar
bagi setiap manusia “dari mana saya, whats the meaning of my existence in this
world, dan akan kemana saya setelah mati” setelah pemahaman tersebut didapatkan
maka saya telah membentuk sebuah kerangka berpikir mengenai konsep ketuhanan,
konsep itu yang akan menopang keyakinan akan konsep-konsep selanjutnya, seperti
konsep monoteisme dan al-qur’an sebagai wahyu dari sang pencipta. Atau dalam
tataran fiqh islam dikenal yang namanya ushul fiqh, pada dasarnya fiqh praktis
maupun ushul fiqh keduanya bersumber dari al-qur’an dan asunnah, sama-sama
sebuah pemahaman. Tetapi dengan ushul fiqh, kita dapat memiliki suatu acuan
yang jelas untuk dapat menghasilkan fiqh praktis melalu proses ijtihad.
Harus diingat kerangka berpikir pada dasarnya adalah
sebuah pemahaman, layaknya sebuah pemahaman maka pemahaman tersebut dapat
salah, kurang, atau tidak sempurna. Ini penting saya jelaskan, karena kadang
terdapat orang-orang yang memiliki kerangka berpikir yang salah yang pada
akhirnya melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang salah pula. Sebuah kerangka
berpikir yang salah konsekuensinya akan semakin besar dibandingkan pemahaman
yang salah, karena kerangka berpikir biasanya akan membentuk pola sikap dan
pola pikir bagi yang memiliki kerangka berpikir tersebut. Saya ingin mengambil
contoh orang-orang JIL (Jaringan Islam Liberal) yang jika disimak, ternyata dia
menggunakan dalil al-qur’an dan assunnah tetapi dengan kerangka berpikir
‘kebebasan akal/penafsiran’, sehingga semakin banyak dalil yang dia miliki,
dapat semakin banyak pula kesimpulan salah yang dia hasilkan.
Kemudian saya ingatkan pula kerangka berpikir itu
layaknya sebuah pondasi pada sebuah rumah, pondasi tanpa atap,
jendela, atau pintu sungguh suatu rumah yang tidak sedap dipandang, tidak dapat
menaungi sang pemilik rumah, dan tidak memberikan kenyamanan. Atap, jendela,
atau pintu dapat diibaratkan sebagai pemahaman-pemahaman turunan yang
dihasilkan oleh kerangka berpikir tersebut. Semakin banyak ilmu/pengetahuan
yang didapat dan dikaitkan dengan kerangka berpikir tersebut dan semoga
diamalkan, maka semakin lengkaplah atap, jendela, atau pintu rumah tersebut.
Tetapi sebaliknya banyaknya ilmu/pengetahuan tanpa didukung oleh kerangka
berpikir yang kuat, bagaikan seorang penghuni rumah yang mewah tetapi selalu
gelisah karena dia khawatir pondasi rumahnya akan hancur walau oleh sedikit
goncangan.
Tetapi sangat sayang sekali, untuk menciptakan kerangka
berpikir bagi saya membutuhkan waktu, fasilitas dan usaha yang cukup keras.
Sedangkan tuntutan pendidikan saat ini justru tidak melihat hal tersebut,
banyaknya materi yang harus dipahami dan hanya dalam waktu singkat ditambah
dengan minimnya fasilitas baik alat maupun pendidik, menjadi suatu hal yang
sangat…sangaaaat sulit bagi kebanyakan orang untuk menciptakan kerangka
berpikir. Oleh karena itu banyak materi-materi kuliah yang dijalani hanya
sebatas informasi jangankan membentuk sebuah kerangka berpikir, mengubah
informasi tersebut menjadi sebuah pemahaman saja sudah syukur alhamdulillah.
(dosen : alasan aja, kuliahnya aja jarang, gimana bisa ngerti toh mas…,
mahasiswa : hehe)
Oleh karena itu kadang-kadang banyak orang memulai
‘belajar’ untuk menciptakan kerangka berpikir tersebut justru pada saat dia
telah bekerja, karena pada saat bekerja dia bertemu fakta permasalahan secara
langsung, dia coba kaitkan dengan teori-teori yang pernah dia pahami, kemudian
dari beberapa kali usahanya menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut
barulah dia mendapatkan pemahaman. Dari pemahaman-pemahaman yang didapatnya itu
dia akan memikirkan sebenarnya apa yang mendasari permasalahan-permasalahan
tersebut, maka terbentuklah kerangka berpikir dia mengenai permasalahan
tersebut.
Close Sections
.Sebelum baca ini, lupakan dulu statement2 diatas, :D ,
biar clear aja
Kalau sebuah pembahasan terasa semakin kompleks dan
membingungkan, kemudian kita sulit untuk mengikutinya, maka lebih baik kita
‘back to the big picture’. Pada intinya adalah:
1. Pemahaman apa sih yang mendasari konsep XYZ? or
2. Apa sih sebenarnya akar permasalahan dari masalah XYZ?
Langganan:
Postingan (Atom)