Minggu, 08 Januari 2012

Rekayasa Sosial ( Bentuk-Bentuk Kesalahan Berpikir.)


1.      Fallacy Of Dramatic Instance
Bentuk kesalahan berpikir dengan melakukan dramatisasi atau berlebihan terhadap suatu gejala dan kejadian. Misalnya, fenomena Ospek di Unhas adalah pemandangan yang sudah lazim untuk tiap Mahasiswa. Konon, dalam suatu rapat himpunan, disepakati bahwa kekerasan akan dihilangkan karena secara esensial, manusia tak pernah menghendaki segala bentuk kekerasan atau penindasan terhadap dirinya.
Seorang peserta lalu membantah hal ini dan mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah benar. Ia lalu memberikan contoh fenomena dirinya, yang saat menjabat sebagai Mahasiswa Baru memang tidak senang ketika Ospek karena Ospek hanya ajang penindasan terhadap Mahasiswa Baru. Namun, ia lalu menambahkan bahwa, hal itu tak berlangsung lama. Karena, ia kemudian sadar bahwa dengan Ospek yang keras dan teramat disiplin yang serba kaku dan tak rasional, kini ia dapat menikmati hasilnya. Misalnya, dulu saat MaBa ia dipaksa untuk bangun pagi, sekarang ia dapat dengan mudah untuk bangun pagi, dulu ia dibentak dan dimaki, kini ia bisa tahan dengan segala bentuk bentakan baik dari orang tuanya ataupun dari seorang kakaknya yang kebetulan seorang tentara.
Pada dasarnya, pendapat ini bisa saja terjadi. Namun, kita tak dapat meng-umum-kan pendapat ini diberlakukan kepada yang lain. Karena, seorang yang sering dibentak misalnya, bisa saja menghasilkan efek yang berbeda. Atupun seseorang yang senantiasa dipaksa untuk disiplin dan bukan karena kehendaknya sendiri, bisa jadi menghasilkan kesimpulan yang lain. Dalam arti, bahwa teman kita itu sudah terjebak dengan Fallacy Of Dramatic Instance, yang seenakhatinya melakukan Overgeneralisasi fenomena dirinya untuk pula dapat diterapkan pada orang lain.

2.      Fallacy Of Determinism

Yaitu kesalahan berpikir yang menganggap bahwa kesalahan atau apa yang terjadi hari ini, berasal dari masa lalu, hingga olehnya itu tidak lagi bisa dirubah. Misalnya, sebagian orang menganggap bahwa kemiskinan bukan saja fenomena yang ada di masa kini. Namun, sejak awal kelahiran manusia di bumi dan mengenal hidup bermasyarakat, kaya dan miskin sudah menjadi keniscayaan. Makanya, tak perlu repot-repot mengurusi permasalahan tentang kemiskinan. Bagaimanapun kita tak akan menemukan obat dan solusinya. Karena, kemiskinan sudah secara alami tumbuh seiring kehadiran manusia.

3.      Post Hoc Ergo Propter Hoc
Kata Post, dapat diartikan sesudah, Hoc berarti demikian itu, Ergo dimaknai sebagai dari pada itu, Propter berarti kemudian itu. Dari pengertian itu dapat ditarik kesimpulan bahwa, Post Hoc Ergo Propter Hoc, adalah bentuk kesalahan berpikir yang menghubungkan dua kejadian beriringan yang sebenarnya tak berhubungan.
Fenomena ini dapat dicontohkan dengan perilaku masyarakat yang biasanya menghubungkan antara kematian seseorang misalnya, dengan hujan yang turun sesudah kematian seseorang tersebut. Atau, perilaku masyarakat yang biasanya menghubungkan antara jenis barang tertentu dengan kekuatan yang dimiliki oleh orang atau tempat berdiamnya benda atau barang tersebut. 

4.      Fallacy Of Misplaced Concretness
Fallacy of Misplaced Concretness adalah bentuk kesalahan berpikir yang dilakukan oleh seseorang, atau kelompok sosial tertentu, dengan mengkonkritkan sesuatu yang pada dasarnya adalah abstrak dan tidak benar-benar eksis. Biasanya dapat diamati pada banyak ahli yang kadang bicara dengan tidak jelas dan memberikan solusi yang sangat umum untuk lari dari ketidaktahuannya.
Pernah satu diskusi digelar tentang permasalahan kemiskinan di kota besar. Seorang ahli lalu berargumen bahwa kemiskinan di kota besar lebih diakibatkan pada struktur. Pertanyaanya, apa yang dimaksudkan dengan struktur dalam hal ini. Jangan sampai struktur itu hanya wacana yang diciptakan oleh seorang ahli untuk lari dari memberikan jawaban yang tegas tentang alur penyebab kemiskinan.

5.      Argumentum ad Verecundiam
Tak dapat dipungkiri bahwa tafsir atas kitab atau perkataan utusan Tuhan, dapat saja berbeda pada tiap orang. Hal ini biasanya malah digunakan oleh sebagian pemuka agama untuk berlindung dari pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghakimi dirinya secara langsung. Misalnya, seorang pemuka agama ditanya, mengapa minuman keras itu dilarang di negara-negara Arab, sedangkan di negara-negara Barat, justru dijual bebas.
Seorang ahli khutbah, mungkin dapat menjawab pertanyaan ini. Namun, bagi mereka yang memiliki pengalaman keberagamaan secara literer sekedar dalam dalam ta’wil kitab dan perkataan utusan semata, ia mungkin hanya akan mengatakan bahwa minuman keras itu dilarang, karena agama mengharamkan minuman keras. Orang seperti ini, kemungkinan terjebak dalam argumentum ad Verecundiam, yaitu berargumen dengan menggunakan otoritas yang pada dasarnya tak lagi bisa dibantah dalam tafsir pembuat argumen.

6.      Fallacy Of Composition
Fallacy of Compocition, yakni bentuk kesalahan berpikir yang menggunakan argumen yang tidak memiliki koherensi dalam tataran logis. Hingga secara literer penafsiran awam sekalipun akan melihat jeda atau ketakkonsistensi pembuat argumen dalam menyusun dan menafsirkan wacana yang sedang dibangunnya sendiri.

7.      Circular Reasoning
Seseorang pernah ditanya, darimana ia dapat mengenal Tuhan. Ia lalu menjawab, dari kitab suci. Terus ia ditanyai lagi, lalu dari mana kitab suci dikenali? Ia menjawab, dari utusan Tuhan di muka bumi. Lalu ia ditanyai kembali, lalu dari mana kita mengenal utusan Tuhan? Ia menjawab, dari Tuhan.
Pada dasarnya jawaban ini tidaklah salah. Namun, dengan melirik sekilas, ini adalah bentuk kesalahan berpikir. Oleh karena, ada rantai yang tidak dijawab oleh seseorang, hingga menyebabkan ia hanya berputar-putar dan akhirnya kebingungan sendiri dengan argumen yang dibangunnya. Bentuk kesalahan berpikir ini dikenali dengan circular reasoning atau berputar-putar.

AKal dan konsep Ketuhanan


Meskipun meyakini adanya Tuhan adalah masalah Fithri yang tertanam dalam diri setiap manusia, namun karena kecintaan mereka kepada dunia yang berlebihan sehingga mereka disibukkan dengannya, mengakibatkan mereka lupa kepada Sang Pencipta dan kepada jati diri mereka sendiri. Yang pada gilirannya, cahaya Fitrah mereka redup atau bahkan padam.
Walaupun demikian, jalan menuju Allah itu banyak. Para Ahli ma'rifat berkata,"Jalan-jalan menuju ma'rifatullah sebanyak nafas makhluk." Salah satu jalan ma'rifatullah adalah akal. Terdapat sekelompok kaum muslim, golongan ahli hadis (Salafi) atau Wahabi, yang menolak peran aktif akal sehubungan dengan ketuhanan. Mereka berpendapat, bahwa satu-satunya jalan untuk mengetahui Allah adalah nash (Al-Qur'an dan hadis). Merka beralasan dengan adanya sejumlah ayat atau riwayat yang secara lahiriah melarang menggunakan akal (ra'yu). Padahal kalau kita perhatikan, ternyata Al-Qur'an dan hadis sendiri mengajak kita untuk menggunakan akal, bahkan menggunakan keduanya ketika menjelaskan keberadaan Allah lewat argumentasi (burhan) Aqli. Pada edisi berikutnya, Insya Allah akan kita bicarakan tentang Al-Qur'an, hadis dan konsep ketuhanan.
Dalam persepsi mereka, membicarakan agama adalah suatu hal yang sangat sensitif dan akan merenggangkan hubungan antara manusia. Agama merupakan sesuatu yang sangat personal dan tidak perlu diungkap dalam forum-forum umum dan terbuka. Jika harus berbicara agama pun, maka ruang lingkupnya harus dibatasi pada sisi peribadatan saja.

Bisakah Tuhan dibuktikan dengan akal ?

Sebenarnya pertanyaan ini tidaklah tepat, karena bukan saja Allah bisa dibuktikan dengan akal. Bahkan, pada beberapa kondisi dan situasi hal itu harus dibuktikan dengan akal, dan tidak mungkin melakukan pembuktian tanpa akal.
Anggapan yang mengatakan, bahwa pembuktian wujud Allah hanya dengan nash saja adalah anggapan yang sangat naif. Karena bagaimana mungkin seseorang menerima keterangan Al-Qur'an, sementara dia belum mempercayai wujud (keberadaan) sumber Al-Qur'an itu sendiri, yaitu Allah Ta'ala.
Lebih naif lagi, mereka menerima keterangan Al-Qur'an lantaran ia adalah kalamullah atau sesuatu yang datang dari Allah. Hal itu berarti, mereka telah meyakini wujud Allah sebelum menerima keterangan Al-Qur'an. Lalu mengapa mereka meyakini wujud Allah.
Mereka menjawab,"Karena Al-Qur'an mengatakan demikian." Maka terjadilah daur (Lingkaran Setan?, lihat istilah daur pada pembahasan selanjutnya). Dalam hal ini, Al-Qur'an dijadikan sebagai pendukung dan penguat dalil aqli.
Para ulama, ketika membuktikan wujud Allah dengan menggunakan burhan aqli, terkadang melalui pendekatan kalami (teologis) atau pendekatan filosofis.
Pada kesempatan ini Insya Allah kami mencoba menjelaskan keduanya secara sederhana dan ringkas.

Burhan-burhan Aqli-kalami tentang keniscayaan wujud Allah Ta'ala

1. Burhan Nidham (Keteraturan)
Burhan ini dibangun atas beberapa muqaddimah (premis).
Pertama, bahwa alam raya ini penuh dengan berbagai jenis benda, baik yang hidup maupun yang mati.
Kedua, bahwa alam bendawi (tabi'at) tunduk kepada satu peraturan. Artinya, setiap benda yang ada di alam ini tidak terlepas dari pengaruh undang-undang dan hukum alam.
Ketiga, hukum yang menguasai alam ini adalah hukum kausalitas ('ilaliyyah), artinya setiap fenomena yang terjadi di alam ini pasti dikarenakan sebuah sebab ('illat), dan tidak mungkin satu fenomena terjadi tanpa sebab. Dengan demikian, seluruh alam raya ini dan segala yang ada di dalamnya, termasuk hukum alam dan sebab-akibat, adalah sebuah fenomena dari sebuah puncak sebab (prima kausa, atau 'illatul 'ilal).
Keempat, "sebab" atau 'illat yang mengadakan seluruh alam raya ini tidak keluar dari dua kemungkinan, yaitu "sebab" yang berupa benda mati atau sesuatu yang hidup.
Kemungkinan pertama tidak mungkin, karena beberapa alasan berikut : Pertama, alam raya ini sangat besar, indah dan penuh keunikan. Hal ini menunjukkan bahwa "sebab" yang mengadakannya adalah sesuatu yang hebat, pandai dan mampu. Kehebatan, kepandaian dan kemampuan, merupakan ciri dan sifat dari sesuatu yang hidup. Benda mati tidak mungkin disifati hebat, pandai dan mampu.
Kedua, benda-benda yang ada di alam ini beragam dan bermacam-macam, di antaranya adalah manusia. Manusia merupakan salah satu bagian dari alam yang palin menonjol. Dia pandai, mampu dan hidup. Mungkinkah manusia yang pandai, mampu dan hidup terwujud dari sesuatu yang mati ?
Kesimpulannya, bahwa alam raya ini mempunyai "sebab" atau 'illat, dan "sebab" tersebut adalah sesuatu yang hidup. Kaum muslimin menamai "sebab" segala sesuatu itu dengan sebutan Allah Ta'ala.

2. Burhan al-Huduts (Kebaruan)
Al-Huduts atau al-Hadits berarti baru, atau sesuatu yang pernah tidak ada. Burhan ini terdiri atas beberapa hal :
Pertama, bahwa alam raya ini hadits, artinya mengalami perubahan dari tidak ada menjadi ada dan akhirnya tidak ada lagi.
Kedua, segala sesuatu yang asalnya tidak ada kemudian ada, tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti dia menjadi ada karena "sebab" sesuatu.
Ketiga, yang menjadikan alam raya ini ada haruslah sesuatu yang qadim, yakni keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Keberadaannya kekal dan abadi. Karena, jika sesuatu yang mengadakan alam raya ini hadits juga, maka Dia-pun ada karena ada yang mengadakannya, demikian seterusnya (tasalsul). Tasalsul yang tidak berujung seperti ini mustahil. Dengan demikian, pasti ada 'sesuatu' yang keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Kaum muslimin menamakan 'sesuatu' itu dengan sebutan Allah Ta'ala.

Burhan-burhan Aqli-Filosofi tentang kenicayaan wujud Allah Ta'ala

A. Burhan Imkan Sebelum menguraikan burhan ini, ada beberapa istilah yang perlu diperjelas terlebih dahulu :

Wajib, yaitu sesuatu yang wujudnya pasti, dengan sendirinya dan tidak membutuhkan kepada yang lain.
Imkan atau mumkin, sesuatu yang wujud (ada) dan 'adam (tiada) baginya sama saja (tasawiy an-nisbah ila al-wujud wa al-'adam). Artinya sesutu yang ketika 'ada' disebabkan faktor eksternal, atau keberadaannya tidak dengan sendirinya. Demikian pula, ketika 'tidak ada' disebabkan faktor eksternal pula, atau ketiadaannya juga tidak dengan sendirinya. Dia tidak membias kepada wujud dan kepada ketiadaan. Menurut para filosuf, hal ini merupakan ciri khas dari mahiyah (esensi).
Mumtani' atau mustahil, yaitu sesuatu yang tidak mungkin ada dan tidak mungkin terjadi, seperti sesuatu itu ada dan tiada pada saat dan tempat yang bersamaan (ijtima'un naqidhain).
Daur (siklus atau lingkaran setan). Misal, A keberadaannya tergantung/membutuhkan B, sedangkan B keberadaannya tergantung/membutuhkan A. Jadi A tidak mungkin ada tanpa keberadaan B terlebih dahulu, demikian pula B tidak mungkin ad tanpa keberadaan A terlebih dahulu. Dengan demikian, A tidak akan a